Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diskriminasi di Rumah Sendiri, Menyoal Penyegelan Bakal Makam Tokoh Sunda Wiwitan

Kompas.com - 24/07/2020, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

Namun dalam surat balasannya pada 14 Juli lalu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Kuningan menyatakan tidak dapat mengabulkan permohonan tersebut lantaran adanya penolakan dari MUI Desa Cisantana.

Dalam surat tersebut, Kepala DPMPTSP Kuningan, Agus Sadeli, beralasan "untuk proses permohonan IMB salah satu unsur yang harus dipenuhi yaitu "kondusivitas lingkungan warga".

Baca juga: Kelompok Penghayat Sunda Wiwitan Tak Terdaftar di Kemendikbud

Adapun, sebulan sebelumnya, MUI Desa Cisantana telah mengajukan surat penolakan pembangunan situs buatan yang dibangun oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan di Curug Goong dan meminta bangunan itu segera dibongkar dan dihentikan.

Dewan Fatwa MUI Desa Cisantana, Cecep Murad, yang juga mantan Kepala Desa Cisantana, beralasan masyarakat Cisantana, khususnya warga Muslim, khawatir bangunan itu akan dijadikan tempat pemujaan.

"Karena pembangunan makam itu berbeda dengan makan kebanyakan, itu yang menjadikan kekhawatiran warga Muslim khususnya, jangan-jangan tempat pemakaman ini, ini kekhawatiran ya, dijadikan sumber dari kemusyrikan, tempat pemujaan," jelasnya.

Baca juga: Warga Adat Sunda Wiwitan Patungan Beli Tanah Leluhur

Akan hal itu ditampik oleh Djuwita, yang menyebut tudingan itu "tak manusiawi". Dia menyebut dalih penolakan warga itu dijadikan alasan pemerintah untuk mengganjal pembangunan makam itu.

"Ketika Perda itu tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjerat kami maka dibuatlah isu seolah itu adalah penolakan dari masyarakat," tutur Djuwita

"Seolah ada keresahan untuk merusak akidah. Buat kami itu sangat tidak bisa dipahami," imbuhnya.

Baca juga: Ricuh, Eksekusi Tanah Adat Sunda Wiwitan Gagal

Diskriminasi di 'rumah sendiri'

Terkait dengan apa yang baru dialami oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Djuwita menyebutnya sebagai "diskriminasi sistematis di rumah sendiri".

Akan tetapi, Bupati Kuningan, Acep Purnama, menampik tudingan telah bertindak diskriminatif, seraya menambahkan langkah penyegelan itu "sudah tepat dan strategis" dalam rangka mengantisipasi persoalan yang lebih besar dan "menjaga hal-hal yang tidak diharapkan" demi situasi kondusif di Kuningan.

"Jadi sekali lagi kami minta kepada pihak Paseban untuk sama-sama menahan diri, tidak membesar-besarkan masalah. Langkah ini menurut kami semuanya langkah persuasif dan langkah yang paling baik dan benar," katanya.

Baca juga: Perjalanan Warga Adat Sunda Wiwitan Pertahankan Cagar Budaya

"Jangan melaporkan kami seolah-olah kami diskriminatif," tegasnya kemudian.

Dia pula mengklarifikasi tudingan bahwa Pemda Kuningan mengerahkan massa selama proses penyegelan yang dianggapnya "tidak berdasar dan tidak benar".

"Gerakan itu spontanitas atas kepedulian, atas mempertahankan harga diri. Kita hormati. Kita hormati paseban hanya apa yang menjadi anjuran pemerintah, ikuti," ujar Acep.

Baca juga: Saba Budaya Baduy Gantikan Wisata Baduy, Apakah Itu?

Birokratisasi diskriminasi dan intoleransi

IlustrasiKOMPAS/DIDIE SW Ilustrasi
Bagaimanapun, Direktur Riset Setara Institut, Halili Hasan, mengungkapkan apa yang dialami oleh kelompok minoritas Sunda Wiwitan sebagai "birokratisasi diskriminasi dan intoleransi".

"Mindset utamanya memang intoleransi, yang lebih ditegaskan adalah diskriminasi. Tapi agar secara teknis tampak lebih soft, maka digunakanlah instrumen birokrasi, dalam hal ini yang melakukan tentu saja Satpol PP dan Pemkab Kuningan secara umum," jelas Halili.

Menurutnya, penyegelan itu "hanya akal-akalan" untuk mempersulit kebebasan berkeyakinan yang diperjuangan oleh kelompok penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.

Merujuk riset yang dilakukan SETARA Institute, penghayat kepercayaan mengalami aneka ragam diskriminasi.

Baca juga: Pemerintah Dukung Pembatasan Kunjungan ke Baduy

"Yang paling pokok itu dalam bentuk narasi intoleransi yang memberikan penyangkalan atas eksistensi mereka, juga atas hak-hak mereka," kata dia.

Ekspresi diskriminasi itu, lanjut Halili, berupa restriksi atau pembatasan - seperti yang dialami oleh Sunda Wiwitan - dan gangguan terhadap peribadatan mereka.

Tak sedikit pula penghayat kepercayaan disebut sebagai kelompok menyesatkan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com