Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diskriminasi di Rumah Sendiri, Menyoal Penyegelan Bakal Makam Tokoh Sunda Wiwitan

Kompas.com - 24/07/2020, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

"Ini juga terjadi di Kuningan, karena narasi yang dilakukan kelompok intoleran yang melakukan penolakan itu menyebut mereka sebagai kelompok yang berpotensi menyesatkan dan membuat syirik," jelas Halili.

Baca juga: Baduy Masih Boleh Dikunjungi, Ini Permintaan Warga

Bahkan, menurutnya, belakangan muncul tudingan bahwa kelompok penghayat ini menjadi bagian dari "kebangkitan komunisme".

"Sejak tahun 1960-an sebenarnya tudingan-tudingan semacam itu sudah muncul, tetapi garis besarnya adalah diskriminasi terhadap mereka akan selalu berulang," kata dia.

Alasannya, negara tidak memiliki ketegasan untuk melembagakan inklusi terhadap mereka dan memberikan pengakuan sepenuhnya terhadap kelompok minoritas penghayat kepercayaan.

"Karena rekognisi yang diberikan terhadap mereka melalui putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 masih merupakan rekognisi setengah hati," tegas Halili.

Baca juga: Ketika Warga Baduy Tak Ingin Lagi Terima Wisatawan

Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, yang dianggap sebagai pengakuan negara atas eksistensi penghayat kepercayaan.

Kendati begitu, kata Halili, aksi diskriminasi dan intoleransi masih kerap mereka alami, baik dari pemerintah maupun dari kelompok mayoritas, terutama berkaitan dengan administrasi kependudukan dan kebebasan berkeyakinan.

Sehingga beberapa kelompok penghayat kepercayaan memilih untuk menyelamatkan diri mereka dengan mengaku sebagai bagian dari agama lain yang "mapan".

Baca juga: 3 Oleh-oleh Makanan Khas Baduy, Kualitas Unggul

"Misalnya kelompok Kaharingan di Kalimantan terpaksa mengaku agama lain. Saya kira pola ini terjadi di banyak tempat meski putusan MK itu memberikan hak terhadap mereka," katanya.

Data SETARA Insitute pada 2019, selama 12 belas tahun terakhir Jawa Barat menjadi provinsi dengan tingkat toleransi terburuk di Indonesia, dengan total kasus sebanyak 629 kasus.

Menurut Halili, apa yang baru saja terjadi pada masyarakat adat Sunda Wiwitan "mengafirmasi bahwa Jawa Barat secara umum tidak memberikan ruang yang bagus bagi toleransi dan kebebasan beragama dan berkeyakinan".

Baca juga: Wisatawan Bikin Baduy Tercermar Sampah Plastik, Ini Kata Tur Operator

Djuwita Djatikusumah Putri yang merupakan pendamping kelompok adat Sunda Wiwitan menyebut masalah intoleransi ini tidak hanya akan berimbas pada masalah yang bersifat lokal di Jawa Barat, namun juga berimbas pada keamanan nasional.

"Ini harus menjadi sorotan yang dipantau oleh pemerintah. Intoleransi bukan masalah yang harus dilokalisir, karena ini adalah masalah yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca juga: Bagaimana Perubahan Baduy Sejak Menjadi Kawasan Wisata?

Nilai historis dan tradisi budaya

Djuwita mengatakan pembangunan makam tersebut tak lepas dari nilai historis bahwa lokasi pemakaman dibangun di Curug Goong, merupakan petilasan Pangeran Madrais, yang disebut sebagai pencetus kepercayaan Sunda Wiwitan.

Dia menuturkan pada 1936, ketika Gunung Ciremai sedang erupsi Pangeran Madrais bersama dengan 200 pengikutnya yang mendaki gunung itu "berhasil meredakan" erupsi.

"Dan setelah meredakan Ciremai itu, beliau tinggal di Curug Goong sampai akhir hayatnya pada 1939. Jadi tanah itu punya ikatan histori dengan kami," katanya.

Djuwita mengatakan pembangunan makam dengan bentuk menhir yang disebut Batu Satangtung oleh masyarakat lokal, bertujuan untuk "meneruskan apa yang sudah menjadi tradisi leluhur".

Baca juga: Komisi IV DPR Setuju Baduy Ditutup dari Peta Wisata, Ini Alasannya...ma

Dia menambahkan, pembangunan makam dengan bentuk batu satangtung oleh masyarakat lokal, bertujuan untuk "meneruskan apa yang sudah menjadi tradisi leluhur".

"Bentuk menhir, dolmen dan lingga yoni itu bukan suatu yang baru dalam peradaban nusantara. Itu sudah ada dari zaman dulu," kata dia.

"Ketika orang-orang melihat batu satangtung sebagai sesuatu yang aneh dan menjadi polemik itu berarti masyarakat atau pemerintah kurang menggali budaya," kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com