Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Babad Tawangalun, Saat Using hingga Bali Duduk Bersama Membaca Sejarah Banyuwangi di Masa Lalu

Kompas.com - 28/04/2020, 04:05 WIB
Rachmawati

Editor

Istilah tembang di Banyuwangi lebih merujuk pada jenis nada atau lagu dalam tiap pupuh yang didendangkan.

Di Babad Tawangalun terdapat 12 pupuh yang terdiri dari 331 bait. Jenis pupuh di Babad Tawangalun ada lima yakni kasmaran, durma, sinom, dandanggula, dan pangkur.

Dari 12 pupuh yang ada dalam Babad Tawanglun, pangkur, sinom, dan durma yang menjadi pupuh terbanyak dengan tiga kali pengulangan.

Baca juga: Naskah Kuno Koleksi Radya Pustaka Jadi Bahan Penelitian Pengunjung dari Luar Negeri

Wiwin mengatakan di Suku Using, tradisi mocoan hanya ada di Lontar Yusup sehinggga pupuh yang dikenal hanya empat yakni kasmaran, durma, pangkur, dan sinom.

"Boleh jadi dulu ya mengenal pupuh-puluh lain yang ditembangkan secara berbeda nadanya dengan cara Jawa maupun Madura. Tapi Karena enggak ada tradisi pelantunan tembang seperti mocoan Lontar Yusup, ya jadinya hilang," kata Wiiwn.

Ia mencontohkan di Babad Tawangalun ada pupuh Dandanggula yang hanya bisa dibaca dengan cara Jawa Mataraman, Madura, maupun Bali. Mocoan Using tidak mengenal nada tembang dandanggula.

Baca juga: Naskah Kuno Cerita Panji Didaftarkan ke UNESCO

Jika naskah itu ditembangkan sepenuhnya dengan cara mocoan Using yang hanya mengenal empat pupuh, maka penembang Using di bagian pupuh Dandanggula akan kesulitan.

"Kenapa kesulitan. Ya karena nada tembangnya sudah tidak kenal," kata Wiwin.

Wiwin mencontohkan naskah lainnya yakni Sritanjung. Di naskah tersebut hanya ada satu pupuh saja yang bisa ditembangkan dengan cara mocoan Using yakni pupuh durma. Pupuh lainnya yakni mijil, ukir dan maesalangit sudah tidak dikenal nadanya dalam mocoan Using saat ini.

"Yang lain sama sekali sudah tidak dikenal. Ya begitulah. Sayang sekali masyarakat Using sudah banyak kehilangan nada-nada tembang yang dulu pernah ada," jelas dia.

Baca juga: 80 Persen Naskah Kuno Indonesia di Belanda Sudah Disalin Perpustakaan Nasional

Di dalam bait pertama naskah Babad Tawangalun, tidak berisi identitas pengarang dan alasan pengarang menulis cerita Tawangalun.

Namun menurut Wiwin bagian awal Babad Tawangalun ada petunjuk waktu penulisan naskah yakni pada hari Minggu tanggal 13 bulan Sulhaji dan tahun penulisannya yang disebut dal papat jim telu ika.

Ungkapan itu menunjuk pada tahun 1743 tarikh Jawa atau 1827/1828 Masehi. Namun menurut Wiwin, ada juga yang menyebut tahun penyusunan Babad Tawangalun adalah tahun 1832-1841.

Baca juga: Kepala Perpustakaan Nasional: Koleksi Naskah Kuno Indonesia Lebih Banyak daripada Belanda

Pendopo Shaba Swagata Blambangan, rumah dinas Bupati Banyuwangi yang bisa dikunjungi untuk wisatawan.KOMPAS.COM/IRA RACHMAWATI Pendopo Shaba Swagata Blambangan, rumah dinas Bupati Banyuwangi yang bisa dikunjungi untuk wisatawan.
Cerita tersebut berawal dari negeri Kedawung yang didirikan Mas Tanpa Una. Sang raja memiliki dua orang putra yakni Mas Tawangalun dan Mas Wila serta tiga orang puteri yakni Mas Ayu Tunjungsari, Mas Asyu Melok, dan Mas Ayu Gringsing.

Setelah Mas Tanpa Una meninggal, Mas Tawangalun si putra sulung menggantikannnya sebagai Raja Kedawung. Sedangkan Mas Wila sang adik menjadi patih.

Empat tahun bertahta, fitnah dan konflik mulai muncul. Karena tak ingin bersilang sengketa sesama saudara, Sang Tawangalun menyerahkan tahtanya ke sang Mas Wila, adiknya.

Sang Tawangalun meninggalkan Kedawung dan menepi di rimba raya Bayu membuka pemukiman baru.

Baca juga: HUT Ke-36, Perpusnas Gelar Bedah Buku Indonesia Menggugat dan Penyerahan Naskah Kuno

Enam tahun meninggalkan Kedawung, Sang Tawangalun menciptakan negeri Bayu yang makmur dan sejahtera. Banyak rakyat Kedawung yang berpindah ke Bayu.

Bayu yang berkembang membuat Mas Wila iri dengan kakaknya. Perang saudara pun terjadi. Mas Wila mengirim empat ribu prajurit untuk menyerang sang kakak. Sayangnya Kedawung kalah.

Konflik mulai bergulir. Cikal bakal Kabupaten Banyuwangi sempat mengalami masa keemasan dan dipenuhi dengan konflik serta intrik selama hampir dua abad yang melibatkan suku yang ada di Nusantara.

Baca juga: Kekayaan Laut Natuna, Menyimpan Banyak Keramik Kuno

Di akhir cerita, sang juru kisah Babad Tawangalun menyampaikan amanat.

Ingkang saduman rinepto, rong dumon datan kinawi
lamun mangke kinabehna, tan waget kawula nganggit, catur kang kaya ika,
agung kang katilar wahu, lamun cerita mangkana,
kabeh den karangga nenggih, den anggita sawindu mangsa tutuga,

(Yang diceritakan hanya sebagian, beberapa bagian lainnya tak dituliskan,
jika semua diceritakan, tak bisa saya menuliskannya, cerita seperti ini,
amat banyak kisah yang terlewat, jika cerita seperti ini, segala-galanya diceritakan,
tak akan mungkin selesai dituliskan walau dalam waktu delapan tahun)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com