Salin Artikel

Babad Tawangalun, Saat Using hingga Bali Duduk Bersama Membaca Sejarah Banyuwangi di Masa Lalu

Mereka terlihat serius mendengarkan lantunan tembang Babad Tawangalun yang dibacakan oleh Kristanto, seorang pendeta Gereja Kristen Jawi Wetan Banyuwangi.

Tak hanya Kristanto. Acara pelantunan tembang lintas budaya dihadiri oleh juru tembang dari Kabupaten Banyuwangi yang memiliki latar belakang budaya berbeda seperti Madura, Bali, Jawa Mataraman serta Using sebagai suku asli Banyuwangi.

Tembang akan dilantunkan dalam ragam tembang yakni cara Using (mocoan), Jawa (mocopatan), Madura (mamaca), dan Bali (mabasa).

Suhalik penggagas acara pembacaan tembang Babad Tawangalun lintas budaya mengatakan, kegiatan tersebut adalah ekspresi kebhinekaan yang sudah terbangun sejak Babad Tawangalun ditulis, yakni sekitar abad ke-18.

“Gagasan ini merupakan respon atas kondisi sosial yang tengah mengemuka akhir-akhir ini, yaitu politik identitas”, kata Suhalik yang juga sejarawan Banyuwangi

Pria yang juga menyusun buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang bersama Wiwin Indiarti dan Anasrullah mengaku sempat miris saat agama dipolitasi. Apalagi isu tersebut sempat mengemuka saat pemilihan presiden beberapa tahun lalu.

"Semua pasti merasa saat tahun politik, semuanya menjadi tegang. Agama dipolitisasi. Akhirnya saya mengajak kawan-kawan membaca Babad Tawangalun. Lewat seni baca bersama dengan tidak menentangkan perbedaan," kata guru SMA Giri Banyuwangi itu.

“Kita harus mengubur permusuhan masa lalu dan membuat lembaran sejarah baru yang menghargai perbedaan. Dan kami di Banyuwangi memilih merajut kebersamaan, dengan membaca babad ini," jelas Suhalik.

Secara bergantian mereka melantunkan tembang Babad Tawangalun, yang memuat sejarah konflik Kerajaan Blambangan.

"Latar belakang konflik di Blambangan yang melibatkan Jawa Mataraman, Bali, Madura, dan Bali menjadi alasan kita mengadakan pelantunan tembang lintas budaya. Dulu perang sekarang duduk bersama. Membaca babad ini," kata Suhalik.

Hal senada juga dijelaskan oleh Wiwin Indiarti, penyusun buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang. Ia mengatakan Banyuwangi adalah tempat pertemuan banyak etnis di masa lalu. Sehingga tidak seharusnya masyarakat terpolarisasi karena perbedaan termasuk urusan pilihan politik.

“Sejak lama, kami multikultural. Tidak bisa menjadikan semua sama karena wilayah Banyuwangi adalah area perlintasan,” kata Wiwin.

"Saya mewakili Jawa Mataraman. Kebetulan sejak masih muda saya sudah suka baca mocopatan. Tapi saya hanya baca pupuh yang bisa. Karena ada pupuh yang tidak ada di Jawa Mataraman. Sekalian belajar juga," kata pendeta Kristanto yang berasal dari Tulungagung.

Menariknya, Babad Tawangalun sebelumnya tidak pernah ditembangkan baik pada tradisi lisan Using yaitu Macaan maupun Macapatan Jawa, Mebasa Bali dan Mamaca Madura di kalangan masyarakat umum sebelum acara ini.

Seperti Kristanto, para juru tembang harus berlatih lebih dahulu untuk memastikan ketepatan nada tembang masing-masing etnis saat teks Babad Tawangalun dikidungkan.

Selama ini Babad Tawangalun ini hanya dibaca oleh kalangan keluarga pewaris dan kalangan akademisi maupun pegiat serta pemerhati sejarah untuk tujuan penelitian.

Selain Kristanto, pelantun tembang lintas budaya Babad Tawangalun adalah I Wayan Sutama.

Pria berusia 64 tahun asal Bali itu sudah menetap di Banyuwangi sejak tahun 1978. Pada tahun 2019, Wayan lah yang menyiapkan aula rumahnya untuk pembacaan tembang lintas budaya Babad Tawangalun.

Ia bercerita selama ini sering ngidung mabasa sebagai bagian ritual agama Hindu yang ia yakini. Sesekali ia juga ngidung mabasa di acara perkawinan adat Bali yang diselenggarakan oleh umat Hindu yang ada di Banyuwangi.

"Sekarang sudah jarang penembangnya. Sudah tua semua. Jadi bahagia bisa ikut baca baca Babad Tawangalun. Semua bisa belajar. Saya dari Bali nyebutnya mabasa, belajar tembang dari kawan Madura dan Using juga dari Jawa Mataraman," kata Wayan.

Wayan mengatakan pembacaan Babad Tawangalun adalah bagian dari seni. Namun ia mengaku berusaha memahami cerita Babad Tawangalun.

"Kita harus belajar dari babad ini. Bali dan Banyuwangi tak bisa dipisahkan. Kita bersaudara sangat dekat. Bali juga tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Blambangan," kata Wayan.

Di dalam Babad Tawangalun, menurut Wayan, diceritakan Cokorda Klungkung dan Dewa Agung Manguwi dari Bali mengirim utusannya ke Kerajaan Blambang setelah Kanjeng Sunan Tawangalun meninggal. Kedatangan utusan dari Bali untuk menyatukan para putra dan kerabat Macanputih yang sempat berebut tahta setelah Tawangalun meninggal.

“Di Babad Tawangalun itu diceritakan jelas tentang hubungan Bali dan Blambangan. Jadi sebenarnya banyak pelajaran yang bisa kita petik dari babad ini,” jelas Wayan,

Hal senada juga diceritakan oleh Welly Abdur Ridho. Pemuda 22 tahun keturunan Madura yang lahir di Banyuwangi menemani sang kakek, Saniman (72) untuk datang di acara pembacaan tembang lintas budaya.

Dari sang kakek, Welly belajar mamaca tembang cara Madura sejak duduk di bangku SMP. Welly yang beragama Islam juga ikut pertemuan untuk mamaca bersama para pelantun lainnya.

Ia mengaku ada perbedaan mendasar dari bacaan tembang antara Madura, Using, Bali, dan Jawa Mataraman.

"Kalau cara Madura disebut pupuh artatik dan di Jawa Mataraman disebut Dandanggulo. Kalau di Using tidak ada pupuh artatik. Menarik. Saya banyak pelajaran baru," kata mahasiswa tingkat akhir itu.

Namun yang membuat ia bangga bisa bergabung dalam acara tersebut adalah ia masih bisa menggunakan identitasnya budayanya sebagai keturunan Madura.

"Kan di Banyuwangi ada yang bilang Madura itu pendatang. Padahal saya lahir di sini tapi memang keturunan Madura. Rasanya senang bisa gabung dan baca Babad Tawangalun bersama-sama dengan teman dari suku lain. Ini toleransi. Di Banyuwangi ada berbagai macam suku yang hidup bersama-sama dengan saling menghormati" kata Willy.

Walaupun usianya masih muda, Welly mengaku tak malu ikut kegiatan pembacaan Babad Tawangalun yang didominasi orang tua.

"Ini kan seni olah suara. Kalau bukan kita ya siapa lagi. Ada juga kawan-kawan komunitas mocoan lontar milenial yang ikut gabung. Ada kok anak-anak muda yang peduli dengan naskah kuno," katanya.

Selama membaca Babad Tawangalun, Willy mengaku berusaha memahami sejarah yang diceritakan. Ia tidak kesulitan karena di buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang terdapat terjemahan Babad Tawangalun dalam bahasa Indonesia.

Alih bahasa naskah dilakukan untuk memahami isi naskah kuno tersebut.

Dalam Babad Tawangalun diceritakan tentang nenek moyang keluarga raja-raja Blambangan yang bermula dari para pangeran Kedhawung di abad ke- 17.

Silsilah raja Blambangan yang diceritakan dalam Babad Tawangalun ini mencakup rentang waktu lebih dari dua abad.

Wiwin Indiarti, penyusun buku Babad Tawangalun - Wiracarita Pangeran Blambangan dalam Untaian Tembang mengatakan sebagai karya anonim, naskah babad Tawangalun ini memiliki beragam versi salinannya baik dalam bentuk macapat (puisi) maupun gancaran (prosa).

Beragam versi atau salinan naskah Babad Tawangalun berbentuk tembang macapat yang ditemukan hingga saat ini. Naskah induk babad ini ditulis dalam dua versi yakni yang beraksara Jawa dan Arab pegon.

Blambangan sendiri adalah sebuah kerajaan di ujung timur Pulau Jawa yang telah berdiri pada paruh abad ke-1. Kerajaan Blambangan bertahan hingga kira-kira dua abad lamanya sebagai kerajaan Hindu terakhir di Jawa.

Di naskah Babad Tawangalun ragam tembang (macapat) berisi kisah pasang surut para pangeran Blambangan yang merangkum segala kisah intrik perebutan kekuasaan, gilang gemilang kejayaan hingga senjakala keruntuhannya.

Termasuk aliansi Mataram-VOC-Madura yang menghentikan perlawanan Pangeran Blambangan Wong Agung Wilis yang diteruskan Pangeran Jogopati hingga kemudian Blambangan beralih nama menjadi Banyuwangi. Orang-orang keturunan Blambangan itu yang saat ini disebut dengan wong Using.

Puisi tradisional di Banyuwangi disebut sebagai pupuh dan hanya mengenal guru lagu atau disebut dangding.

Sedangkan bentuk puisi tradisional di Jawa dikenal dengan nama tembang macapat dengan aturan tertentu dalam jumlah guru lagu dan guru wilangan.

Istilah tembang di Banyuwangi lebih merujuk pada jenis nada atau lagu dalam tiap pupuh yang didendangkan.

Di Babad Tawangalun terdapat 12 pupuh yang terdiri dari 331 bait. Jenis pupuh di Babad Tawangalun ada lima yakni kasmaran, durma, sinom, dandanggula, dan pangkur.

Dari 12 pupuh yang ada dalam Babad Tawanglun, pangkur, sinom, dan durma yang menjadi pupuh terbanyak dengan tiga kali pengulangan.

Wiwin mengatakan di Suku Using, tradisi mocoan hanya ada di Lontar Yusup sehinggga pupuh yang dikenal hanya empat yakni kasmaran, durma, pangkur, dan sinom.

"Boleh jadi dulu ya mengenal pupuh-puluh lain yang ditembangkan secara berbeda nadanya dengan cara Jawa maupun Madura. Tapi Karena enggak ada tradisi pelantunan tembang seperti mocoan Lontar Yusup, ya jadinya hilang," kata Wiiwn.

Ia mencontohkan di Babad Tawangalun ada pupuh Dandanggula yang hanya bisa dibaca dengan cara Jawa Mataraman, Madura, maupun Bali. Mocoan Using tidak mengenal nada tembang dandanggula.

"Kenapa kesulitan. Ya karena nada tembangnya sudah tidak kenal," kata Wiwin.

Wiwin mencontohkan naskah lainnya yakni Sritanjung. Di naskah tersebut hanya ada satu pupuh saja yang bisa ditembangkan dengan cara mocoan Using yakni pupuh durma. Pupuh lainnya yakni mijil, ukir dan maesalangit sudah tidak dikenal nadanya dalam mocoan Using saat ini.

"Yang lain sama sekali sudah tidak dikenal. Ya begitulah. Sayang sekali masyarakat Using sudah banyak kehilangan nada-nada tembang yang dulu pernah ada," jelas dia.

Di dalam bait pertama naskah Babad Tawangalun, tidak berisi identitas pengarang dan alasan pengarang menulis cerita Tawangalun.

Namun menurut Wiwin bagian awal Babad Tawangalun ada petunjuk waktu penulisan naskah yakni pada hari Minggu tanggal 13 bulan Sulhaji dan tahun penulisannya yang disebut dal papat jim telu ika.

Ungkapan itu menunjuk pada tahun 1743 tarikh Jawa atau 1827/1828 Masehi. Namun menurut Wiwin, ada juga yang menyebut tahun penyusunan Babad Tawangalun adalah tahun 1832-1841.

Setelah Mas Tanpa Una meninggal, Mas Tawangalun si putra sulung menggantikannnya sebagai Raja Kedawung. Sedangkan Mas Wila sang adik menjadi patih.

Empat tahun bertahta, fitnah dan konflik mulai muncul. Karena tak ingin bersilang sengketa sesama saudara, Sang Tawangalun menyerahkan tahtanya ke sang Mas Wila, adiknya.

Sang Tawangalun meninggalkan Kedawung dan menepi di rimba raya Bayu membuka pemukiman baru.

Enam tahun meninggalkan Kedawung, Sang Tawangalun menciptakan negeri Bayu yang makmur dan sejahtera. Banyak rakyat Kedawung yang berpindah ke Bayu.

Bayu yang berkembang membuat Mas Wila iri dengan kakaknya. Perang saudara pun terjadi. Mas Wila mengirim empat ribu prajurit untuk menyerang sang kakak. Sayangnya Kedawung kalah.

Konflik mulai bergulir. Cikal bakal Kabupaten Banyuwangi sempat mengalami masa keemasan dan dipenuhi dengan konflik serta intrik selama hampir dua abad yang melibatkan suku yang ada di Nusantara.

Di akhir cerita, sang juru kisah Babad Tawangalun menyampaikan amanat.

Ingkang saduman rinepto, rong dumon datan kinawi
lamun mangke kinabehna, tan waget kawula nganggit, catur kang kaya ika,
agung kang katilar wahu, lamun cerita mangkana,
kabeh den karangga nenggih, den anggita sawindu mangsa tutuga,

(Yang diceritakan hanya sebagian, beberapa bagian lainnya tak dituliskan,
jika semua diceritakan, tak bisa saya menuliskannya, cerita seperti ini,
amat banyak kisah yang terlewat, jika cerita seperti ini, segala-galanya diceritakan,
tak akan mungkin selesai dituliskan walau dalam waktu delapan tahun)

https://regional.kompas.com/read/2020/04/28/04050031/babad-tawangalun-saat-using-hingga-bali-duduk-bersama-membaca-sejarah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke