Terdapat 42 perempuan Indonesia yang diadvokasi KBRI di Beijing dalam kasus pengantin pesanan selama tahun 2019. Dari perkara itu, 36 orang di antaranya sudah dipulangkan.
Judha berkata, kasus seperti ini bakal terus terjadi jika tidak ada pencegahan di daerah-daerah yang menjadi kantong pengantin pesanan.
Pemerintah daerah, menurut Judha, bisa berperan penting untuk menumbuhkan kesadaran perempuan soal kerentanan pengantin pesanan.
Kalaupun secara sadar memutuskan untuk menikah ke China, otoritas di daerah disebut Judha perlu mengkampanyekan resiko-resiko yang dapat perempuan alami.
Baca juga: Polri Diminta Bongkar Perdagangan Orang Modus Pengantin Pesanan
"Ini pernikahan antara dua budaya. Menikah tanpa memahami perbedaan budaya, akan muncul banyak masalah, sesederhana urusan makan atau peran istri untuk suami," ujar Judha.
"Masyarakat China sangat patriarkis, yang diutamakan laki-laki, perempuan hanya membantu suami, termasuk dalam pekerjaan. Jika suaminya petani, istri diharapkan ikut bekerja."
"Itu yang sering tidak dipahami perempuan Indonesia dan memunculkan masalah ketika mereka tinggal di sana," ucapnya.
Baca juga: Selama Setahun, Ada 20 Korban Perdagangan Manusia dengan Modus Pengantin Pesanan
BBC Indonesia telah berjumpa dengan Wakil Bupati Mempawah, Muhammad Pagi, untuk berbincang tentang persoalan pengantin pesanan di daerahnya. Namun ia menolak berkomentar.
Pelaksana Tugas Kepada Dinas Dukcapil Mempawah, Selfi Kurniati, juga menolak mengomentari dugaan keterlibatan anak buahnya dalam pengurusan dokumen calon pengantin pesanan, terutama yang masih di bawah umur seperti kasus Yuli.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas Pemda Mempawah, Rizal Multiadi, berkata, "Di mana-mana ada yang seperti ini. Tapi lebih kuatnya di Singkawang, bukan Mempawah. Di Mempawah memang ada, tapi jarang sekali."
"Kami tetap mencegah. Itu dilakukan bidang perlindungan anak dan perempuan Dinas Sosial," katanya.
Namun program pencegahan itu dianggap tidak pernah ada oleh SBMI.
Baca juga: Kisah Rustia, Korban Perdagangan Manusia di Irak: Saya Takut Tidak Bisa Pulang