Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Siaga Bencana di Indonesia, Kisah Nyi Roro Kidul hingga Syair Kuno Macapat dan Kayori

Kompas.com - 09/10/2019, 10:22 WIB
Rachmawati

Editor

"Air itu datangnya pelan, nggak cepat, tapi nariknya (saat kembali) cepat. Yang (bikin) rusak itu. Ada yang selamat ada yang enggak. Yang naik ke gunung selamat," ujar Sardamin, warga Carita, Pandeglang, menuturkan apa yang dia dengar dari ayahnya.

Baca juga: Pastikan Kabar Gempa dan Tsunami Banten Bersumber dari BMKG

Dari ayahnya pula, lelaki berusia 97 tahun itu mengetahui asal usul nama yang disandang kampungnya, yakni Sindang Laut.

"Air laut sindang (mampir) sampai ke mushola itu," ujarnya sambil menunjuk masjid yang terletak di samping rumahnya yang berdinding bambu.

Kepada wartawan BBC News Indonesia Callistasia Wijaya, Sardamin mengatakan, ayahnya bercerita bahwa keadaan kampung kacau balau, kerbau-kerbau hanyut, dan orang saling mengklaim tanah milik orang lain, seperti tak ada hukum.

Baca juga: Pulihkan Wisata Pasca-tsunami Banten, Pantai di Pandeglang Dibersihkan

Desa Sindang Laut terletak di daratan tinggi di Carita, sekitar 100 meter di atas permukaan laut, sehingga asal usul nama desa mencerminkan dashyatnya tsunami, atau yang dalam bahasa lokal disebut kelembak, akibat letusan gunung api saat itu.

Hingga kini menjadi tempat orang-orang berlari jika terjadi gempa.

Selain cerita dari mulut ke mulut, bukti tsunami besar dapat dilihat dari keberadaan batu karang raksasa di pinggir jalan dekat mercusuar Anyer.

Di sejumlah tempat lain, juga terdapat batu karang besar, yang menunjukkan kekuatan tsunami yang mampu menghempaskan batu karang ke darat.

Baca juga: IPB Siapkan Relawan Trauma Healing Korban Tsunami Banten

Peneliti tsunami Gegar Prasetya menyebut batu-batu itu adalah penanda bagi orang-orang lokal bahwa tsunami pernah mencapai daerah itu.

Saat terjadi tsunami tahun 2018, warga berlari menyelamatkan diri menjauhi batu-batu itu.

''Kalau batunya masih terlihat, mereka nggak akan berhenti di situ," ujarnya.

Baca juga: Pasca Tsunami Banten, Puluhan Penyu Berhasil Diselamatkan


Apa makna kearifan lokal dalam mitigasi bencana?

Peneliti tsunami purba dari LIPI, Eko Yulianto, menilai legenda, mitos atau cerita yang ada di masyarakat bisa diteliti untuk mendapatkan pesan soal siaga bencana.

"Pesan inti itu kita bawa ke konteks masyarakat saat ini secara rasional. Harapannya cerita mitos atau legenda tadi justru bisa digunakan untuk bisa membangun kesadaran masyarakat dan mendorong upaya-upaya pengurangan risiko bencana," ujarnya.

Hal itu penting, kata Eko, karena peristiwa alam adalah fenomena yang selalu berulang.

Baca juga: UGM Kembangkan Drone Amfibi Untuk Pengawasan dan Mitigasi Bencana

Dengan memahami secara mendalam, masyarakat, kata Eko akan lebih bijaksana mengambil keputusan terkait keselamatan mereka, seperti memilih tempat untuk tinggal.

"Kalau mereka paham bahwa mereka tinggal di daerah rawan bencana dan mereka benar-benar sadar secara mendalam, bukan hanya di permukaan saja, maka mereka akan mengambil keputusan yang logis juga untuk mendapatkan solusinya."

Saat ini, di sejumlah daerah yang pernah luluh lantah oleh gempa maupun tsunami, seperti di Aceh, Pangandaran hingga Palu, bangunan-bangunan kembali bermunculan.

Di Palu, seorang warga, Zaitun, membangun kembali kedainya yang pernah hancur diterjang tsunami.

"Dorang (pemerintah kota Palu) bilang tidak izinkan, tapi tidak larang juga, katanya ini zona merah, (tapi kami) terpaksa berjualan. Kalau tidak, dari mana bisa dapat uang?" jelas Zaitun.

Baca juga: Dilantik, Bupati Magelang Diingatkan soal Pentingnya Mitigasi Bencana

Wati mengaku sempat dilarang untuk membangun kembali kedainya. BBC News Indonesia Wati mengaku sempat dilarang untuk membangun kembali kedainya.

Selain Zaitun, Wati, warga lainnya juga melakukan hal yang sama.

"Ada yang melarang, (tapi) kami bilang, kita mau kasih makan anak-anak pakai apa?" ujar Wati.

Selain itu, tak hanya warga yang membangun di zona merah.

Eko Yulianto mengkritisi pembangunan New Yogyakarta International Airport yang berjarak kurang dari 500 meter dari Laut Selatan Jawa

Ia telah memberi peringatan terkait hal itu, namun tidak digubris oleh pemimpin proyek maupun pihak terkait.

Baca juga: Jokowi Minta Edukasi dan Mitigasi Bencana Masuk Kurikulum Pendidikan

"Hadirnya manusia akan meningkatkan risiko dari ancaman bencana tsunami dan gempa," ujarnya.

Pemerintah, kata Eko, perlu secara tegas menerapkan UU penanggulangan bencana untuk mengantisipasi hal-hal semacam itu.

Peraturan ini mengatur jarak aman bangunan agar terhindar dari bencana, seperti tsunami.

"Kalau pemerintah, khususnya pemerintah daerah, tidak melaksanakan hal itu maka masyarakat yang menjadi korban bencana berhak melakukan class action karena haknya tidak dipenuhi," ujar Eko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com