Kabeh datengke beboyo pepatine ra setitik
Sakdurunge Lindu ono
Yoso wismo kang titi lan permati
Dibakoh ojo gampang rubuh
Tansah siap siogo...
Baca juga: Hari Ini, Peringatan 13 Tahun Peristiwa Gempa Yogyakarta
(Bumi bergetar merusak
Rumah roboh, tanah retak tsunami
Itu yang dinamakan gempa
Penyebabnya ada tiga
tanah anjlog, longsor dan gunung vulkanik
Semua mendatangkan bahaya, tak sedikit korbannya
sebelum ada gempa
Berhati-hatilan dan waspada
diikat jangan sampai rubuh
selalu siap siaga...)
Baca juga: Menurut BNPB, Gempa Aceh Hampir Sama dengan Gempa Yogyakarta 2006
"Tembang-tembang itu untuk mengingatkan dan banyak tembang yang mengajak manusia untuk ingat sangkan paraning dumadi (asal usul manusia)," ujar Kadi.
"Jadi jangan sampai lupa. Kok malah dianggap bidah dan haram. Padahal bidah kalau hasilnya kebaikan itu malah Sunnah, beda kalau hasilnya kejelekan, ya tidak boleh."
Baca juga: HUT ke-263 Yogyakarta, Ini Kisah di Balik Peringatannya Jatuh pada 7 Oktober
Dia salah satu 'orang tua' yang masih bisa melantunkan Kayori, syair khas Palu yang juga merekam kejadian-kejadian di masa lampau.
"Ada semua cerita (tentang bencana alam) dalam Kayori, termasuk cerita orang tua kami," kata Panambulu dalam bahasa Kaili yang diterjemahkan kepada wartawan BBC News Indonesia Silvano Hajid.
Baca juga: Setelah Setahun, Dana Hibah untuk Korban Gempa Palu Baru Cair
Panambulu memulai Kayori dengan bahasa Kaili, dua bait terjemahannya berbunyi seperti ini "kalau ada salah kita di dunia pasti gempa lagi, gempa ini dari perilaku kita di dunia bila kita tidak sesuai dengan adat kita akan ada lagi gempa."
Kemudian petikan bait lain "Kalau kita di dunia ini berbuat dosa akan ada air laut naik. Ada laut naik dahulu," Kayori begitu cepat dilafalkan Panambulu.
Baca juga: Korban Gempa Palu dan Bom Gereja Oikumene Samarinda Diprioritaskan Terima Beasiswa
"Dahulu air naik, tetapi kami tidak ke atas (bukit), tetap di rumah" kata Panambulu ketika ditanya tentang bencana alam yang terjadi sepanjang hidupnya.
Kayori juga menjadi bagian penting dalam penelitian, seorang arkeolog di Palu, Iksam Djorimi.
"Sampai kejadian tahun lalu di Palu, Sigi dan Donggala, hanya sedikit orang yang mengetahui tentang pesan-pesan lokal ini," kata Iksam.
Menurut Iksam, tidak semua orang mengetahui bahasa Kaili, apalagi suku-suku di Sulawesi Tengah juga tidak memiliki aksara, sehingga Kayori hanya diketahui oleh komunitas tua Kaili.
Baca juga: Setahun Gempa Palu: Kami Yakin Anak Kami Pasti Kembali...
Nenek moyang orang Kaili di Palu memiliki istilah Nalodo, yang artinya ambles atau dihisap lumpur, selain itu terdapat pula istilah Nalonjo, yang artinya berawa atau berlumpur.
Pada 28 September 2018, Nalodo kembali terjadi.
"Sebelum tahun 1980, tidak ada yang berani membangun hunian di sana (Petobo, Balaroa dan Jono Oge), masyarakat Kaili tahu bahwa daerah-daerah itu rawan bencana, bahkan mereka tidak berani berkebun di lokasi itu," tambahnya.
Baca juga: Pemerintah Berencana Bangun 12.000 Rumah Tahan Gempa di Palu dan Lombok
Saat akhirnya gunung itu meletus, sebuah peristiwa yang disebut sebagai salah satu bencana terdashyat di dunia, air laut pun naik dan menghantam perumahan di sekitarnya.