Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Warga Palangkaraya Bertahan Menghirup Asap, Tak Ada Biaya Mengungsi hingga Sesak Napas

Kompas.com - 18/09/2019, 12:12 WIB
Rachmawati

Editor

Ia belum tahu kapan ia akan kembali ke ibu kota Kalimantan Tengah itu. Yang jelas, pria yang sehari-hari bekerja sebagai penyunting gambar itu mengatakan bahwa ia akan menetap sementara di Jakarta hingga kabut asap mereda, atau hingga ia harus kembali karena ada tuntutan pekerjaan.

"Kalau ada orderan untuk syuting ya saya harus balik lagi, jadi ya nyempatin aja dulu istirahat dulu lah dari asap itu," ungkapnya.

Warga lain yang tinggal di Palangkaraya dan mengajak keluarganya mengungsi adalah Mustafa, yang sehari-hari bekerja sebagai seorang wiraswasta.

Baca juga: Fakta Calon Ibu Kota Negara Terpapar Kabut Asap, Rencana Bangun Bendungan hingga Sempat Terdeteksi 17 Titik Api

"Kalau saya ada kewajiban pekerjaan, tapi mungkin dia (istri) bawa anak-anak ke Jakarta dalam waktu dekat," kisahnya.

Menurut pengamatannya yang sudah berulang kali mengalami kabut asap sejak pindah ke Kalimantan tahun 1998 lalu, kondisi tahun ini mirip dengan tahun 2015.

"Ini cukup buruk ya, ini udah hampir kayak 2015."

Mustafa pun mengaku tidak bisa berbuat banyak menghadapi halauan asap di sana-sini. Ia mengatakan "Kita terpaksa menghirup udara yang ada. Masa beli tabung oksigen? Mahal banget."

Baca juga: Kabut Asap Menipis, Penerbangan di Bandara Banjarmasin Berangsur Normal

Hal yang sama akan dilakukan Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas.

Arie yang bersama sejumlah warga Kalimantan Tengah memenangkan gugatan melawan Presiden Joko Widodo itu berencana menjemput istri dan anak-anaknya yang bermukim di Palangkaraya untuk mengungsi ke Jakarta.

"Dua minggu lalu sudah sempat mengunjungi keluarga saya untuk dievakuasi, tapi hujan sempat terjadi di Palangkaraya sehingga tidak jadi saya evakuasi," imbuhnya.

Keputusan Arie untuk mengungsikan keluarganya bukan baru sekarang. Pada bencana kabut asap tahun 2015 pun, ia mengevakuasi warganya keluar dari Kalimantan untuk sementara.

"Hampir lima bulan masyarakat Palangkaraya, termasuk keluarga saya itu, hidup di situasi yang sangat sulit karena kebakaran hutan dan lahan, dan asap sudah melebihi ambang batas," tutur Arie.

Pada tahun ini, trauma tahun 2015 itu mendorongnya untuk melakukan hal yang sama. Terlebih, keluarganya sudah sakit-sakitan.

Baca juga: Kabut Asap Makin Tebal dan Berbahaya, Siswa di Palembang Diliburkan

Setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan melayangkan peninjauan kembali (PK) dok BBC Indonesia Setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan melayangkan peninjauan kembali (PK)

Menurutnya, sikap pemerintah yang belum menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait gugatan yang dimenangkan Arie dan kawan-kawan - terlepas dari upaya pemerintah yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus tersebut, menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani kasus karhutla yang sudah terjadi puluhan tahun.

"Kebakaran hutan dan lahan hanya dianggap sebagai kejadian biasa dan ditangani juga secara biasa," ungkap Arie.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com