KOMPAS.com - Mbah Sarni (101), warga Desa Ngunut Kabupaten Magetan Jawa Timur telah membuat gerabah sejak zaman penjajahan Belanda.
Selama puluhan tahun Mbak Sarni setia membuat gerabah, walaupun hasil pekerjaanya hanya dihargai Rp. 1.000 per buah.
Berikut 5 fakta dari Mbah Sarni:
“Sudah dari mbahnya simbah dulu kami membuat gerabah. Saya selesai sekolah SR sudah membuat gerabah," ujarnya.
Ia bercerita jika dulu perajin gerabag adalah pekerjaan bergengsi karena semua peralatan memasak di dapur terbuat dari gerabah mulai dari tungku hingga wajan.
Namun sekarang, sudah jarang anak muda yang mau membuat gerabah
Baca juga: Kisah Nenek Berusia 101 Tahun yang Setia Membuat Gerabah walau Dihargai Rp 1.000 Per Buah
"Dulu buat dandang, kuali, kendil, wajan, anglo, semua kami bikin. Tapi sekarang hanya bikin cobek karena hanya itu yang laku,” imbuhnya.
Selain membuat, Mbah Sarni juga menjual sendiri gerabah hasil karyanya keliling desa hingga ke kota tetangga menggunakan onthel.
Saat berkeliling, Mbah Sari harus menginap dari kampung ke kampung.
"Dulu keliling pakai sepeda ontel dari kampung ke kampung. Ke Pasar Magetan ke Pasar Plaosan. Kalau jualan bisa empat hari sampai susunan gerabah di sepeda habis. Disusun tinggi itu gerabah di belakang sepeda,” ucapnya.
Baca juga: Upaya Cirebon Membangun Desa Wisata Gerabah ala Kasongan
Anak perempuanya yang lain setelah menikah tinggal dengan keluarga barunya dan tidak ada yang tertarik untuk menajdi perajin gerabah. Menurut Karniem, di desanya pembuat gerabah hanya perempuan yang berusia tua.
“Saudara yang lain berpencar mengikuti suami mereka. Kalau warga sini kebanyakan memilih mencari kerja di luar negeri karena duitnya banyak. Yang masih kerja kaya gini ya tinggal perempuan tua,” ujarnya.