Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Fakta Mbah Sarmi, Pembuat Gerabah sejak Zaman Penjajahan Belanda

Kompas.com - 01/07/2019, 12:22 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Mbah Sarni (101), warga Desa Ngunut Kabupaten Magetan Jawa Timur telah membuat gerabah sejak zaman penjajahan Belanda.

Selama puluhan tahun Mbak Sarni setia membuat gerabah, walaupun hasil pekerjaanya hanya dihargai Rp. 1.000 per buah.

Berikut 5 fakta dari Mbah Sarni:

1. Berusia seabad dan generasi ke-7 perajin gerabah

Ilustrasi orang tua.Shutterstock Ilustrasi orang tua.
Mbah Sarni mengaku berusia 101 tahun dan dia adalah generasi ke-7 dari keluarganya yang bekerja sebagai perajin gerabah. Pekerjaan tersebut sudah dilakoni Mbah Sarni sejak zaman penjajahan Belanda.

“Sudah dari mbahnya simbah dulu kami membuat gerabah. Saya selesai sekolah SR sudah membuat gerabah," ujarnya.

Ia bercerita jika dulu perajin gerabag adalah pekerjaan bergengsi karena semua peralatan memasak di dapur terbuat dari gerabah mulai dari tungku hingga wajan.

Namun sekarang, sudah jarang anak muda yang mau membuat gerabah

Baca juga: Kisah Nenek Berusia 101 Tahun yang Setia Membuat Gerabah walau Dihargai Rp 1.000 Per Buah

2. Hanya membuat cobek tanah liat

Roda TembikarBritannica Roda Tembikar
Mbah Sarni bercerita jika dia dulu membuat semua jenis gerabah untuk peralatan memasak di dapur. Namun sekarang, dia hanya membuat cobek karena hanya barang tersebut yang laku di pasaran.

"Dulu buat dandang, kuali, kendil, wajan, anglo, semua kami bikin. Tapi sekarang hanya bikin cobek karena hanya itu yang laku,” imbuhnya.

Selain membuat, Mbah Sarni juga menjual sendiri gerabah hasil karyanya keliling desa hingga ke kota tetangga menggunakan onthel.

Saat berkeliling, Mbah Sari harus menginap dari kampung ke kampung.

"Dulu keliling pakai sepeda ontel dari kampung ke kampung. Ke Pasar Magetan ke Pasar Plaosan. Kalau jualan bisa empat hari sampai susunan gerabah di sepeda habis. Disusun tinggi itu gerabah di belakang sepeda,” ucapnya.

Baca juga: Upaya Cirebon Membangun Desa Wisata Gerabah ala Kasongan

3. Keahlian membuat gerabah diwariskan ke anak bungsu

ilustrasi nenek dan cucu ilustrasi nenek dan cucu
Mah Sarni memiliki 8 orang anak, namun hanya Karniem (65), anak bungsunya yang mengikuti jejaknya sebagai perajin gerabah.

Anak perempuanya yang lain setelah menikah tinggal dengan keluarga barunya dan tidak ada yang tertarik untuk menajdi perajin gerabah. Menurut Karniem, di desanya pembuat gerabah hanya perempuan yang berusia tua.

“Saudara yang lain berpencar mengikuti suami mereka. Kalau warga sini kebanyakan memilih mencari kerja di luar negeri karena duitnya banyak. Yang masih kerja kaya gini ya tinggal perempuan tua,” ujarnya.

Dari delapan bersaudara, hanya Karniem yang setiap menemani ibunya Mbah Sarni membuat gerabah.

Baca juga: Di Tangan Sidik, Gerabah Bayat Naik Kelas dan Raih Penghargaan UNESCO

4. Cobek dihargai Rp 1.000 per buah

Ilustrasi uang di dalam cangkir.SHUTTERSTOCK Ilustrasi uang di dalam cangkir.
Cobek gerabah buatan Mbah Sarni dan anaknya Karniem hanya dibeli Rp 1.000 per buah oleh pengepul. Harga tersebut lebih murah karena mereka harus meminjam uang terlebih dahulu kepada pengepul untuk modal membeli tanah dan membakar gerabah.

"Pasarannya ada yang Rp 1.500, kalau saya punya hanya dihargai Rp 1.000 karena kita ngutang dulu buat beli tanah, bakar cobek, dan buat belanja harian,” imbuhnya.

Saat ini cobek buatannya harus bersaing dengan cobek yang cetak menggunkan mesin.

Ketika musim kemarau, mereka bisa membuat 200 cobek dalam waktu tiga hari. Namun saat musim hujan, mereka membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar 2 minggu.

"Kalau musim hujan nunggu dua minggu agar terkumpul banyak cobek yang kering baru dibakar. Kalau sekali membakar bisa 500 buah,” ujarnya.

Baca juga: Cerita Perempuan Perajin Gerabah di Bireuen yang Jadi Andalan Keluarga

5. Mengerjakan secara manual

Foto dirilis pada Senin (10/12/2018), menunjukkan sejumlah gerabah tertumpuk di salah satu sudut ruangan di Desa Wisata Karanganyar, Magelang, Jawa Tengah. Di Dusun Klipoh di Desa Karanganyar sebagian warganya dikenal aktif memproduksi gerabah untuki kebutuhan masyarakat, baik wisatawan domestik dan mancanegara yang berwisata ke Candi Borobudur dan kawasan sekitarnya.SIGID KURNIAWAN Foto dirilis pada Senin (10/12/2018), menunjukkan sejumlah gerabah tertumpuk di salah satu sudut ruangan di Desa Wisata Karanganyar, Magelang, Jawa Tengah. Di Dusun Klipoh di Desa Karanganyar sebagian warganya dikenal aktif memproduksi gerabah untuki kebutuhan masyarakat, baik wisatawan domestik dan mancanegara yang berwisata ke Candi Borobudur dan kawasan sekitarnya.
Mbah Sarni dan anaknya Karniem membuat gerabah secara manual. Setiap hari dua perempuan berusia tua ini harus menginjak-injak dan meremas tanah lempung agar lebih halus.

Sebelumnya, tanah lempung tersebut dijemur hingga kering kemudian direndam semalaman dengan air.

"Terpaksa diulenin sendiri pake tangan karena tidak ada uang untuk sewa molen,” ucanya.

Setelah adonan tanah liat siap, mereka mulai membuat gerabah dengan mengayuh perbot (meja berputar untuk membentuk tanah liat) menggunakan kaki.

Untuk membentuk model gerabah, mereka menggunakan lap basah dan plastik pipih.

"Dari dulu sampai sekarang gerabah akan tetap dibutuhkan, meski tak seramai dulu. Saya tetap akan tetap membuat gerabah,” pungkasnya sambil tersenyum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com