Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Fakta Mbah Sarmi, Pembuat Gerabah sejak Zaman Penjajahan Belanda

Kompas.com - 01/07/2019, 12:22 WIB
Rachmawati

Editor

Dari delapan bersaudara, hanya Karniem yang setiap menemani ibunya Mbah Sarni membuat gerabah.

Baca juga: Di Tangan Sidik, Gerabah Bayat Naik Kelas dan Raih Penghargaan UNESCO

4. Cobek dihargai Rp 1.000 per buah

Cobek gerabah buatan Mbah Sarni dan anaknya Karniem hanya dibeli Rp 1.000 per buah oleh pengepul. Harga tersebut lebih murah karena mereka harus meminjam uang terlebih dahulu kepada pengepul untuk modal membeli tanah dan membakar gerabah.

"Pasarannya ada yang Rp 1.500, kalau saya punya hanya dihargai Rp 1.000 karena kita ngutang dulu buat beli tanah, bakar cobek, dan buat belanja harian,” imbuhnya.

Saat ini cobek buatannya harus bersaing dengan cobek yang cetak menggunkan mesin.

Ketika musim kemarau, mereka bisa membuat 200 cobek dalam waktu tiga hari. Namun saat musim hujan, mereka membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar 2 minggu.

"Kalau musim hujan nunggu dua minggu agar terkumpul banyak cobek yang kering baru dibakar. Kalau sekali membakar bisa 500 buah,” ujarnya.

Baca juga: Cerita Perempuan Perajin Gerabah di Bireuen yang Jadi Andalan Keluarga

5. Mengerjakan secara manual

Foto dirilis pada Senin (10/12/2018), menunjukkan sejumlah gerabah tertumpuk di salah satu sudut ruangan di Desa Wisata Karanganyar, Magelang, Jawa Tengah. Di Dusun Klipoh di Desa Karanganyar sebagian warganya dikenal aktif memproduksi gerabah untuki kebutuhan masyarakat, baik wisatawan domestik dan mancanegara yang berwisata ke Candi Borobudur dan kawasan sekitarnya.SIGID KURNIAWAN Foto dirilis pada Senin (10/12/2018), menunjukkan sejumlah gerabah tertumpuk di salah satu sudut ruangan di Desa Wisata Karanganyar, Magelang, Jawa Tengah. Di Dusun Klipoh di Desa Karanganyar sebagian warganya dikenal aktif memproduksi gerabah untuki kebutuhan masyarakat, baik wisatawan domestik dan mancanegara yang berwisata ke Candi Borobudur dan kawasan sekitarnya.
Mbah Sarni dan anaknya Karniem membuat gerabah secara manual. Setiap hari dua perempuan berusia tua ini harus menginjak-injak dan meremas tanah lempung agar lebih halus.

Sebelumnya, tanah lempung tersebut dijemur hingga kering kemudian direndam semalaman dengan air.

"Terpaksa diulenin sendiri pake tangan karena tidak ada uang untuk sewa molen,” ucanya.

Setelah adonan tanah liat siap, mereka mulai membuat gerabah dengan mengayuh perbot (meja berputar untuk membentuk tanah liat) menggunakan kaki.

Untuk membentuk model gerabah, mereka menggunakan lap basah dan plastik pipih.

"Dari dulu sampai sekarang gerabah akan tetap dibutuhkan, meski tak seramai dulu. Saya tetap akan tetap membuat gerabah,” pungkasnya sambil tersenyum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com