Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Slamet, Melawan Peraturan Dusun yang Diskriminatif di Bantul

Kompas.com - 02/04/2019, 18:35 WIB
Markus Yuwono,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

Awal larangan warga non-Muslim tinggal

Iswanto mengatakan, pembuatan peraturan tersebut disahkan oleh dirinya bersama sekitar 30-an tokoh masyarakat dan agama pada tahun 2015 lalu.

Dasar peraturannya untuk mengantisipasi adanya campur makam antara Muslim dan agama lain.

Setelah dibahas, disepakati aturan pelarangan adanya pembelian tanah dan bertempat tinggalnya warga non-Muslim di Dusun Karet.

"Mulai hari ini sudah dicabut. Karena melanggar peraturan dan perundangan. Kami sepakat aturan tersebut kami dicabut, dan permasalahan dengan Pak Slamet tidak ada permasalahan lagi," kata dia.

Ke depannya, warga tidak akan lagi mempermasalahkan latar belakang agama maupun suku. Pihaknya ingin semuanya hidup rukun.

Dia mengungkapkan, dari sekitar 540 KK, ada 1 KK yang non-Muslim tinggal sejak lama, dan selama ini tidak ada permasalahan. "Nantinya kami mengikuti aturan yang ada di pemerintahan saja," ucap dia.

Baca juga: 6 Fakta Banjir dan Longsor di DIY, Bantul Paling Parah hingga Terjang Kompleks Makam Raja di Imogiri

Iswanto mengaku, tidak mempermasalahkan jika keluarga Slamet akan tinggal di dusunnya. Namun, pihaknya menyerahkan kepada keluarga tersebut.

Tidak boleh ada diskriminasi SARA

Bupati Bantul, Suharsono mengatakan, komitmennya untuk tidak ada diskriminasi di wilayahnya. Dirinya pun sudah bertemu dengan perangkat Desa Pleret.

Menurut dia, perangkat desa pembuat aturan penolakan warga non-Muslim sudah minta maaf. "Enggak boleh ada larangan," ujar dia.

Aturan yang dikeluarkan oleh warga dusun tersebut dinilainya mencederai NKRI, yang mengedepankan ke-Bhinekaan.

Tidak boleh ada diskriminasi SARA. Ia memastikan, warga non-Muslim boleh tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, dan Bantul pada umumnya.

Ia meminta, masyarakat Bantul bisa saling menghormati sesama bangsa Indonesia meski berbeda suku dan agama. Bagi dusun atau desa yang hendak membuat aturan, lebih baik berkonsultasi dengan bagian hukum Pemkab Bantul.

Baca juga: 5 Aktivitas yang Bisa Dilakukan di Wisata Puncak Sosok Bantul

"Kalau tak ada dasar hukumnya, (aturan itu) melanggar hukum. Yang penting dirembug. Warga bisa di situ, yang penting tidak mengganggu," ujar dia.


Kapolres Bantul AKBP Sahat M Hasibuan mengatakan, jika kasus ini sudah selesai, dan peraturan tersebut juga sudah dicabut.

"Aturan itu sudah tidak berlaku dan dicabut. Ke depan saya berharap kita di sini toleransi agama. Saya yakin di Jogja tidak ada intoleransi, semuanya toleransi. Kita lihat di sini tadi menjaga hubungan masyarakat," ucap dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com