Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Slamet, Melawan Peraturan Dusun yang Diskriminatif di Bantul

Kompas.com - 02/04/2019, 18:35 WIB
Markus Yuwono,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Memasuki Padukuhan Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, seolah tidak berbeda dengan dusun lainnya. Berada tak jauh dari situs Pleret, dusun ini dihuni kurang lebih 540 kepala keluarga.

Namun, beberapa hari terakhir, di Dusun Karet terjadi polemik karena kedatangan Slamet Jumiarto (42), warga pindahan dari Desa Mancasan, Pendowoharjo, Bantul, yang mengontrak rumah sederhana di Dusun Karet, Jumat (29/3/2019).

Awalnya, ayah dua orang anak tersebut diterima baik pemilik rumah. Bahkan, dirinya menyebut, pemilik rumah tidak mempermasalahkan agama yang dianutnya.

Setelah merapikan rumah kontrakan yang terletak di gang kecil di Pedukuhan Karet, RT 008 pada Minggu (31/3/2019), sebagai warga baru, pria yang berprofesi sebagi pelukis ini melapor ke ketua RT.

Di sana, ia memberikan fotokopi KTP, KK, hingga surat nikah. Namun, saat diperiksa, diketahui dirinya beragama Katolik, dan ditolak untuk tinggal.

Baca juga: Serunya Sungai Warna-warni di Bantul....

Demikian pula saat melapor ke kepala kampung. Ternyata, penolakan ini berdasar pada aturan di dusun setempat bernomor 03/Pokgiat/Krt/Plt/X/2015.

Dalam aturan itu, pendatang non-Muslim tak diizinkan tinggal. "Paginya saya ketemu ketua kampung, itu pun juga ditolak, kemudian saya ingin ketemu pak dukuh, cuma waktu kemarin belum tahu rumahnya, belum tahu namanya," ucap Slamet, saat ditemui di kontrakannya Selasa (2/4/2019).

Dirinya kemudian merekam curhatan hatinya, dan dikirimkan ke beberapa pihak, termasuk sekretaris Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X. Kemudian diarahkan ke Sekda DIY, dan diteruskan ke Sekda Bantul.

Bahkan, curhatan kurang lebih 4 menit itu tersebar di sejumlah masyarakat melalui pesan singkat.

Pada Senin (1/4/2019), dirinya dipanggil untuk mediasi oleh Pemkab Bantul, di Kantor Sekda Kabupaten Bantul.

Saat itu, hadir pula kepala dukuh, lurah dan RT setempat. Belum adanya titik temu, pertemuan itu dilanjutkan malam hari.

Beberapa sesepuh warga menurutnya telah memperbolehkan dirinya tinggal di situ. Kemudian, ketua RT lantas memberikan opsi agar dirinya bisa tinggal di Karet selama 6 bulan.

"Kalau hanya 6 bulan kan buat apa. Sama saja penolakan secara halus kepada saya. Kalau memang boleh ya boleh, kalau enggak ya enggak, gitu saja," ucap dia.

Setelah berdiskusi, akhirnya dirinya bersedia untuk pindah, namun dengan catatan mengembalikan seluruh biaya yang sudah dikeluarkan. Selain itu, peraturan diskriminasi tersebut harus dibatalkan.

Selama mempersiapkan diri menempati rumah, dia sudah mengeluarkan uang Rp 4 juta untuk mengontrak satu tahun, Rp 800.000 untuk renovasi rumah, plus Rp 400.000 untuk transpor renovasi.

"Semalam (Senin, 1/4/2018) ada kesepakatan peraturan itu dicabut," ujar dia.

"Yang terpenting bagi saya, peraturan tersebut sudah dicabut. Jangan sampai ada korban lainnya. Jangan sampai cap intoleransi di DIY semakin tebal," ucap dia.

Slamet bercerita, pasca-viralnya kasus tersebut, banyak kolega menawarkan rumah untuk ditinggali. Namun, warga asli Semarang, Jawa Tengah, ini masih akan berpikir apakah tetap tinggal ataupun pindah ke lokasi lainnya.

Baca juga: Antisipasi Banjir di Bantul, Sri Sultan HB X Wacanakan Bangun Embung

"Tetangga di sini baik semua, bahkan yang tidak kenal, setelah peristiwa ini ramai dibicarakan, menyapa dan jadi mengenal saya," ucap dia.

Saat Kompas.com berbincang dengan Slamet, rombongan Kapolres Bantul AKBP Sahat M Hasibuan mendatangi rumanya. Tak lama, Kepala Dukuh Karet, Iswanto, ikut datang.

Baca halaman selanjutnya: Awal larangan warga non-Muslim tinggal

Awal larangan warga non-Muslim tinggal

Iswanto mengatakan, pembuatan peraturan tersebut disahkan oleh dirinya bersama sekitar 30-an tokoh masyarakat dan agama pada tahun 2015 lalu.

Dasar peraturannya untuk mengantisipasi adanya campur makam antara Muslim dan agama lain.

Setelah dibahas, disepakati aturan pelarangan adanya pembelian tanah dan bertempat tinggalnya warga non-Muslim di Dusun Karet.

"Mulai hari ini sudah dicabut. Karena melanggar peraturan dan perundangan. Kami sepakat aturan tersebut kami dicabut, dan permasalahan dengan Pak Slamet tidak ada permasalahan lagi," kata dia.

Ke depannya, warga tidak akan lagi mempermasalahkan latar belakang agama maupun suku. Pihaknya ingin semuanya hidup rukun.

Dia mengungkapkan, dari sekitar 540 KK, ada 1 KK yang non-Muslim tinggal sejak lama, dan selama ini tidak ada permasalahan. "Nantinya kami mengikuti aturan yang ada di pemerintahan saja," ucap dia.

Baca juga: 6 Fakta Banjir dan Longsor di DIY, Bantul Paling Parah hingga Terjang Kompleks Makam Raja di Imogiri

Iswanto mengaku, tidak mempermasalahkan jika keluarga Slamet akan tinggal di dusunnya. Namun, pihaknya menyerahkan kepada keluarga tersebut.

Tidak boleh ada diskriminasi SARA

Bupati Bantul, Suharsono mengatakan, komitmennya untuk tidak ada diskriminasi di wilayahnya. Dirinya pun sudah bertemu dengan perangkat Desa Pleret.

Menurut dia, perangkat desa pembuat aturan penolakan warga non-Muslim sudah minta maaf. "Enggak boleh ada larangan," ujar dia.

Aturan yang dikeluarkan oleh warga dusun tersebut dinilainya mencederai NKRI, yang mengedepankan ke-Bhinekaan.

Tidak boleh ada diskriminasi SARA. Ia memastikan, warga non-Muslim boleh tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, dan Bantul pada umumnya.

Ia meminta, masyarakat Bantul bisa saling menghormati sesama bangsa Indonesia meski berbeda suku dan agama. Bagi dusun atau desa yang hendak membuat aturan, lebih baik berkonsultasi dengan bagian hukum Pemkab Bantul.

Baca juga: 5 Aktivitas yang Bisa Dilakukan di Wisata Puncak Sosok Bantul

"Kalau tak ada dasar hukumnya, (aturan itu) melanggar hukum. Yang penting dirembug. Warga bisa di situ, yang penting tidak mengganggu," ujar dia.


Kapolres Bantul AKBP Sahat M Hasibuan mengatakan, jika kasus ini sudah selesai, dan peraturan tersebut juga sudah dicabut.

"Aturan itu sudah tidak berlaku dan dicabut. Ke depan saya berharap kita di sini toleransi agama. Saya yakin di Jogja tidak ada intoleransi, semuanya toleransi. Kita lihat di sini tadi menjaga hubungan masyarakat," ucap dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com