KOMPAS.com - Pada Juli lalu, Jawa Barat tercatat sebagai salah satu provinsi dengan jumlah pasien isoman yang meninggal dunia terbanyak.
Kisah dari empat keluarga ini, meski telah terjadi sekitar dua bulan lalu, menjadi catatan buruknya penanganan Covid di puncak pandemi.
Febi, bukan nama sebenarnya, terkesiap melihat ayahnya terkulai lemas di kursi roda. Sang ayah mengembuskan napas terakhir saat mengantre di pelataran instalasi gawat darurat (IGD) sebuah rumah sakit di Kota Bogor, 9 Juli 2021.
Baca juga: Bupati Kebumen Larang Pasien Covid-19 Isolasi Mandiri: Tak Dilaksanakan dengan Baik
Febi tak sempat menemani saat-saat terakhirnya karena sibuk berkeliling mencari oksigen. Dia hanya bisa menangis dan memeluknya untuk terakhir kali.
Ayah Febi sebelumnya mengeluh sakit lambung. Beberapa kali berobat ke klinik, diagnosis dokter adalah sakit asam lambung, sedangkan tes usap antigen menyebutkan ayahnya negatif Covid-19.
"Tidak ada gejala Covid, seperti batuk, demam, atau flu. Ayah juga masih bisa berdiri, bisa jalan. Tapi memang ada penyakit bawaan, jantung, dan stroke," kisah Febi kepada BBC Indonesia.
Baca juga: Bupati Banyumas Larang Isolasi Mandiri Covid-19, Ini Alasannya
Sejumlah rumah sakit yang didatangi Febi menolak dengan alasan penuh. Status ayahnya yang saat itu negatif Covid juga menjadi alasan rumah sakit menolak perawatan.
"Takut tertular Covid di rumah sakit," kata Febi menirukan.
Namun, karena kondisi ayahnya terus memburuk, pada Kamis (8/7/2021) malam, Febi bersikeras membawa ayahnya ke rumah sakit. Lagi-lagi, tiga rumah sakit yang didatanginya, menolak.
Baca juga: Mayoritas Pasien Covid-19 Isolasi Mandiri di Jombang Sudah Pindah ke Tempat Isoter
"Saya sedikit memaksa, tidak apa-apa saya menunggu, daripada menunggu di rumah tanpa penanganan lebih baik saya menunggu di rumah sakit," kisahnya.
Waktu menunjukkan hampir pukul 24.00 WIB. Mobil mengular memasuki area rumah sakit, antrean juga terlihat di depan IGD.
"Saya pikir, enggak mungkin ketika ayah saya kenapa-kenapa akan dibiarkan saja oleh pihak rumah sakit. Akhirnya boleh, tetapi tes Covid dulu," lanjut Febi. Hasil tes di rumah sakit itu mengonfirmasi ayahnya positif Covid-19.
Baca juga: Kemenkes: Jangan Putuskan Isolasi Mandiri Tanpa Konsultasi dengan Tenaga Kesehatan
Sementara itu, kondisi ayahnya semakin lemah dengan saturasi oksigen 33 persen. Melihat sang ayah yang susah payah menghirup oksigen, Febi beranjak mencari depo pengisian oksigen.
Namun, dini hari itu, meski telah mengelilingi Kota Bogor, semua depo tutup. Saat Febi akhirnya kembali ke rumah sakit, sang ayah sudah meninggal dunia.
Febi mengaku ikhlas melepaskan ayahnya "pulang" sebulan jelang hari pernikahannya. Ia tahu, keinginan ayahnya untuk sembuh untuk sembuh sangat kuat lantaran ingin mengantar anak gadisnya melepas masa lajang.
"Ternyata benar, cuma kita enggak ada firasat ke sana. Makanya kenapa tetap menikah, walaupun belum 40 hari [ayah meninggal] karena kita berpikir ini permintaan terakhir ayah saya," ucap Febi.
Baca juga: Cerita Anggota Paskibra yang Memilih Isolasi Mandiri, Sendirian dan Belum Terima Bantuan Pemerintah