Overkapasitas rumah sakit dipandang sebagai penyebab utama tingginya angka kasus kematian isoman. Namun, Co-leads Koalisi Warga untuk LaporCovid-19, Ahmad Arif, memandang faktor penyebabnya sangat kompleks.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung, memang banyak yang tidak terlayani fasilitas kesehatan saat puncak kasus di bulan Juli.
Akan tetapi, Arif melihat ada fenomena lain di daerah rural dan suburban.
"Mereka cenderung menghindari rumah sakit dan datang ke rumah sakit saat kondisi sudah parah atau mungkin sudah terlambat. Atau memang dia tidak sampai ke rumah sakit karena ada pemantauan yang terbatas dari fasilitas kesehatan primer," kata Arif.
Baca juga: Rayu Warga Isoman Pindah ke Tempat Isoter, Wali Kota Madiun Terjunkan Penyintas Covid-19
Warga yang menghindari rumah sakit dan datang ke rumah sakit dalam keadaan sudah parah ditengarai karena percaya hoaks atau minim pemahaman tentang gejala Covid-19.
Akhirnya, banyak yang kondisinya berat terlambat ditangani kemudian meninggal di rumah atau dalam perjalanan ke rumah sakit.
Koalisi Warga untuk LaporCovid-19 — sebuah kanal laporan warga terkait Covid-19 dengan pendekatan crowdsourcing — mencatat 3.031 kematian isoman dan di luar rumah sakit yang terjadi sejak Juni hingga 7 Agustus 2021.
Namun LaporCovid-19 menilai data tersebut seperti fenomena puncak gunung es.
"Data DKI Jakarta paling tinggi karena secara resmi pemerintah DKI Jakarta melakukan pendataan dan membagikan datanya kepada kami, sehingga bisa dibilang datanya paling real. Sementara di luar Jakarta, fenomena puncak gunung es, karena datanya didasarkan laporan warga," terang Arif.
Tingginya kematian isoman dan di luar rumah sakit, menurut Arif, adalah persoalan hilir yang menandai adanya banyak persoalan di hulu. Salah satunya, keterlambatan tes dan lacak.
Baca juga: Basuki Sebut Rumah Tak Layak Huni Membahayakan Pasien Covid-19 Isoman
Ketika tes dan lacak terbatas, berarti kemungkinan ditemukan orang yang terpapar Covid-19 sedini mungkin dengan gejala yang masih ringan, akan terlambat, kata Arif.
Tes dan lacak yang terlambat juga menyebabkan proses isolasi tidak berlangsung dengan baik, sehingga rawan terjadi penularan dan memunculkan klaster baru, umumnya klaster keluarga, tambah Arif.
"Yang terakhir, dari sisi treatmennya sendiri. Pemantauan yang tidak jalan terhadap pasien isoman, juga ada fenomena sosial [percaya hoaks], dan dukungan sosial terhadap orang-orang isoman yang juga bermasalah," kata dia.
Baca juga: Pasien Isoman di Jombang Mulai Dipindahkan ke Rumah Isolasi Terpusat
Akan tetapi, melakukan tes dan lacak diakui Ketua Harian Satgas Penanganan Covid-19 Jawa Barat Dewi Sartika, tidak mudah.
Ada beberapa kendala yang dihadapi, seperti terbatasnya sarana prasarana, kekurangan SDM tes dan lacak, kondisi geografis Jawa Barat dengan jangkauan yang luas, serta jumlah penduduk yang banyak.
Baca juga: Bupati Gresik Siapkan Voucer Belanja Rp 200.000 untuk Warga Isoman yang Bersedia Pindah ke Gejos
"Masyarakatnya juga [jadi kendala]. Ada yang tidak mau dites, ada yang masih takut di-swab," ungkap Dewi saat dihubungi lewat sambungan telepon, Rabu (1/9/2021).
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 35 tahun 2021, Jawa Barat ditargetkan testing sebanyak 107 ribu per hari, tapi baru bisa dilakukan sekitar 40 ribuan per hari. Sedangkan untuk lacak, dari target 1:15, baru terealisasi 1:5.
"Kami mengakui [kekurangan] itu," aku Dewi.
Tingginya angka kematian warga isoman menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang kemudian meluncurkan fitur layanan Isolasi Mandiri dalam portal Pikobar (Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar) pertengahan Juli 2021 lalu, yang menyediakan layanan telekonsultasi serta pengajuan paket obat dan multivitamin bagi mereka yang sedang isoman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.