Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Disidang Kasus Pencabutan 5 Pohon Pisang, Padlah Menyangkal Pakai Bahasa Madura

Kompas.com - 01/02/2019, 23:08 WIB
Taufiqurrahman,
Khairina

Tim Redaksi

PAMEKASAN, KOMPAS.com - Padlah (65) warga asal Dusun Duwa' Tenggi, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur masih bingung karena dirinya diputus bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Pamekasan, dalam sidang yang digelar Kamis (31/1/2019).

Padlah alias Pak Harun, disidang atas tindakan penyerobotan tanah dan pencabutan lima pohon pisang di tanah yang diklaim milik Busiah, tetangga Padlah sendiri.

Padlah didakwa hukuman percobaan selama 30 hari.

Kuasa hukum Padlah, Marsuto Alfianto, kepada Kompas.com, Jumat (1/2/2019) menceritakan, saat di persidangan, Padlah menyampaikan pembelaan kepada majelis hakim yang dipimpin Sukamto, SH, MH.

Pembelaan berbahasa Madura itu sempat membingungkan majelis hakim. Namun kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh panitera sidang.

Baca juga: Pekan Depan, Sidang Perkara Vlog Idiot Ahmad Dhani Digelar di PN Surabaya

Padlah menceritakan kronologi kasusnya itu. Tanggal 12 Januari 2019 kemarin, Padlah mencabuti lima pohon pisang yang ditanam Busiah. Padahal, Busiah tidak berhak atas tanah itu.

Tanah milik Busiah hanya 365 meter persegi dari luas tanah 2.625 meter persegi. Merasa tanamannya dirusak dan tanahnya diserobot, Busiah melaporkan ke Polres Pamekasan dua hari setelah kejadian pencabutan pohon pisang oleh Padlah.

Enam belas hari setelah diproses oleh polisi, kasus tersebut disidangkan.

Padlah membeberkan kronologi kasus tanah tersebut hingga diklaim milik Busiah.

Tahun 2002, isteri Padlah sebagai ahli waris menjual sebagian tanahnya seluas 365 meter persegi kepada Busiah.

Sertifikat tanah itu kemudian diminta oleh Kepala Desa Blumbungan, untuk diterbitkan sertifikat baru atas nama dua orang, yakni Padlah dan Busiah.

"Pihak Kades membuat dua sertifikat, tapi atas nama Busiah semua. Padahal seharusnya, keluarga Padlah wajib pegang sertifikat yang baru pula. Dua sertifikat semuanya atas nama Busiah," terang Alfian.

Alfian menduga, Kepala Desa Blumbungan menzalimi isteri Padlah yang mengalami tunanetra untuk mengesahkan dua sertifikat itu.

"Keluarga kami dizalimi karena ada sertifikat tanah bukan atas nama keluarga kami selaku pemilik sah tanah itu," terang Alfian, meniru perkataan Padlah.

Berbagai argumentasi Padlah tidak bisa membuktikan secara formal sebagai pemilik tanah. Sebab, sertifikat sah ada di tangan Busiah. Sehingga majelis hakim tetap memvonis salah Padlah.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com