Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, mengatakan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Menkopolhukam dan meminta agar temuan tulang-tulang manusia itu dijaga agar tidak rusak atau hilang.
Karena Komnas menduga kuat tulang tersebut merupakan bukti dari peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di Rumoh Geudong selama masa konflik Aceh tahun 1989-1998.
Kala itu, Rumoh Geudong menjadi basis bos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) ketika status Daerah Operasi Militer (DOM) berlaku di Aceh.
"Karena waktu itu ada laporan yang menyatakan telah terjadi penyiksaan sejumlah orang hingga meninggal, bahkan disebut ada yang dibunuh. Sehingga ada dugaan tulang-tulang itu dari korban penyiksaan."
Baca juga: Rumoh Geudong, Lokasi Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di Aceh, Diratakan Jelang Jokowi Datang
"Maka itu penting agar dilakukan penjagaan terhadap tulang manusia supaya tidak rusak atau hilang."
Selain berkoordinasi dengan Menkopolhukam, Komnas HAM juga akan bertemu dengan Kejaksaan Agung dalam waktu dekat.
Tujuannya agar Kejaksaan selaku penyidik dalam kasus pelanggaran HAM Rumah Geudong bisa melakukan uji forensik.
Termasuk melakukan tes DNA untuk memastikan identitas tulang tersebut dengan keluarga korban yang masih hidup. Pasalnya berkas penyelidikan kasus ini sudah diserahkan kembali ke Kejaksaan Agung.
Kendati demikian, Abdul Haris, menyarankan Pemda Pidie maupun Aceh agar menyerahkan tulang-tulang manusia yang diduga korban penyiksaan Rumoh Geudong ke kepolisian.
Yang jika dibutuhkan sewaktu-waktu oleh Kejaksaan bisa disidik dengan cepat.
Baca juga: Kronologi Tragedi Rumah Geudong
"Memang sebaiknya ada di tangan pihak yang berwajib, jadi keamanannya terjamin."
"Kalau sekarang kita tidak tahu tulang-tulang itu dikubur dimana, apakah semua tulang itu dikubur di satu tempat atau terpisah-pisah."
Dia pun menekankan bahwa pemerintah harus membuka ruang kepada korban, keluarga korban, serta publik untuk bisa mengetahui informasi temuan tersebut sebagai pemenuhan hak korban.
Adapun soal pembangunan monumen, ia menilai perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian mengingat kemungkinan adanya bukti-bukti lain di wilayah pembangunan.
Setelah melakukan penyelidikan mendalam terhadap 65 orang saksi, Tim adhoc penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Aceh menyimpulkan peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis telah memiliki bukti permulaan yang cukup atas dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di antaranya: perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara; penyiksaan; pembunuhan; perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; dan penghilangan orang secara paksa.
Untuk diketahui, pada saat konflik Aceh memanas di akhir 1990-an dan awal tahun 2000, ribuan personel TNI diturunkan untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka, yang saat itu disebut pemerintah sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Baca juga: Pelanggaran HAM Rumoh Geudong, Tak Ada Alasan Kejaksaan Agung untuk Diam
Pemerintah melalui Panglima ABRI memutuskan untuk melaksanakan Operasi Jaring Merah (Jamer) yang menjadikan Korem 011/Lilawangsa sebagai pusat komando lapangan.
Pelaksanaan Operasi Jamer dilakukan dengan membuka pos-pos sattis di beberapa wilayah di Aceh.
Pos Sattis yang utama adalah Rumoh Geudong di Bilie Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, hal ini ditengarai karena di lokasi ini paling banyak korbannya.
Terdapat juga beberapa lokasi pos sattis lainnya seperti di Jimjim Gampong Ujung Leubat, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan, dan lain sebagainya.
Di Rumoh Geudong dan post sattis tersebut, anggota Kopassus, TNI AD diduga menyiksa warga sipil.
Dalam ringkasan eksekutif Komnas HAM tercatat pola penangkapan dan penahanan secara paksa terhadap para korban di Pos Sattis.
Baca juga: Eks Panglima Gerakan Aceh Merdeka Dukung Prabowo-Gibran
"Aparat melakukan penangkapan atau penculikan terhadap warga yang dituduh sebagai anggota atau keluarga anggota atau simpatisan GPK-AM. Setelah itu warga tersebut langsung ditembak atau dibawa ke salah satu Pos Sattis," tulis ringkasan eksekutif Komnas HAM.
"Di Pos Sattis warga tersebut akan disiksa, dibunuh, atau dihilangkan, di mana korbannya lebih banyak terhadap laki-laki, walau juga tidak sedikit korban perempuan.
"Perlakuan terhadap korban perempuan, awalnya ditangkap atau diculik oleh aparat atau orang yang diperintahkan mengambil korban, dijadikan sandera agar orang yang dikehendaki aparat (GPK-AM) menyerahkan diri atau mendapatkan informasi tentang suami atau anak atau saudara atau ayahnya yang dituduh terlibat GPK-AM.
"Korban dibawa ke Pos Sattis atau ke suatu tempat, korban disiksa, dilecehkan (ditelanjangi), diperkosa, dibunuh; dan anak yang dipaksa dibawa ketika ibunya ditangkap dan ditahan."
Wartawan sinarpidie.co, Firdaus Yusuf, berkontribusi dalam liputan dan tulisan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.