Pada 21 Mei 1998, Presiden Suharto lengser. Rakyat menyambut era reformasi. Korban-korban kebengisan tentara saat Aceh berstatus Daerah Operasi Militer mulai bersuara.
Masyarakat sipil dan mahasiswa Aceh menuntut pencabutan DOM dari Tanah Rencong.
Atas desakan itu, DPR RI membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) pada 22 Juli 1998. Tim ini dipimpin purnawirawan TNI Hari Sabarno yang juga menjawab Wakil Ketua DPR.
Anggota tim, terdiri dari Ghazali Abbas Adan dari fraksi Persatuan Pembangunan; Lukman R Boer dari fraksi Karya Pembangunan; dan Sedaryanto dari fraksi ABRI.
Saat kunjungan TPF DPR RI ke Rumoh Geudong pada Juli 1998, orang-orang yang ditahan secara paksa diduga dipindahkan sementara ke sejumlah tempat.
Baca juga: Rumoh Geudong Dihancurkan Jelang Kedatangan Jokowi, Keseriusan Negara Jadi Tanda Tanya
Sementara di Jakarta, Presiden BJ Habibie mengeluarkan perintah pencabutan DOM di Aceh pada 7 Agustus 1998.
Tim pencari fakta juga dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang kala itu dipimpin Baharuddin Lopa.
Dia tiba di Aceh pada 20 Agustus 1998 dengan kondisi Rumoh Geudong sudah kosong dan personel Kopassus telah meninggalkan tempat itu.
Direktur Pengembangan Aktivitas Sosial Ekonomi Aceh (Paska), Farida Haryani, mengatakan pihaknya ikut menemani Tim Pencari Fakta dari Komnas HAM ke Rumoh Geudong.
Di situ, dia mendapat informasi bahwa Kopassus dan Tenaga Pembantu Operasi (TPO) telah membongkar kuburan massal di Rumoh Geudong dan memindahkan jenazah para korban penyiksaan empat hari sebelum kedatangan tim dari Komnas HAM.
Baca juga: Penghancuran Rumoh Geudong Rendahkan Korban, Suara Mereka Diabaikan
Meskipun, saat menggali beberapa tempat yang diduga kuburan, Komnas menemukan sisa-sisa kerangka manusia.
"Tim TPF Komnas HAM tidak menemukan rangka manusia yang utuh di kuburan Rumoh Geudong. Yang ditemukan saat itu tulang jari manusia, tulang jari kaki dan rambut," ucap Farida kepada BBC News Indonesia, Rabu (27/03).
Kuburan itu rupanya tempat tentara mengubur mayat Yabuni, suami Rosmiati.
Komnas HAM pun menyerahkan tulang jari tangan, jari kaki dan rambut yang ditemukan kepada Rosmiati dan dikubur ulang di tanah pemakaman keluarganya di Desa Meugit.
Rosmiati bercerita, jauh sebelum kedatangan TPF Komnas HAM, seorang tahanan Rumoh Geudong bernama Teungku Abdul Wahab, mengatakan kalau suaminya hanya satu malam ditahan Rumah Geudong.
"Suami saya dieksekusi dan ditanam di sebelah barat Rumoh Geudong," tuturnya.
Baca juga: Rumoh Geudong di Pidie Aceh, Tempat Pelanggaran HAM Berat Terjadi
Sebagai penanda, Wahab yang merupakan warga Gampong Kreung Seumiduen, Pidie, bilang dirinya menanam pohon pepaya di atas kuburan Yabuni.
Sayangnya, setelah TPF Komnas HAM bertemu dengan korban dan membongkar kuburan di Rumah Geudong, massa membakar tempat itu tanpa sisa.
Hanya ada satu tangga beton, dinding-dinding kamar mandi di depan tangga Rumoh Geudong (di sebelah utara), dinding dapur, kamar mandi, dan WC di bangunan bawah bangunan itu yang sebelumnya berkontruksi semi permanen, yang masih berdiri.
Tapi pada Juni 2023, Pemkab Pidie menghancurkan semua sisa-sisa bangunan itu.
Kini bangunan lama yang tersisa hanyalah tangga beton dan dua sumur.
Pasalnya pada Agustus tahun 2022, Presiden Jokowi meneken Kepres nomor 17 tahun 2022 tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tim ini mengupayakan penyelesaian di luar hukum terhadap 12 kasus yang diselidiki Komnas HAM, di antaranya: Pembunuhan Massal 1965, Peristiwa Talang Sari, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998.
Kemudian Kerusuhan Mei 1998, Trisaksi dan Semanggi I&II 1998-1999, Pembunuhan dukun santet 1998-1999, Simpang KKA, Wasior Berdarah, Peristiwa Wamena, serta peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lain, termasuk Jambo Keupok.
Khusus untuk kasus Rumoh Geudong, Tim tersebut ditugaskan membangun monumen sebagai pengingat insiden mengerikan itu.
Pembangunan Memorial Living Park di lahan seluas 7.015 meter ini dikerjakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan anggaran Rp17 miliar.
Pemkab Pidie telah membayar uang pembebasan lahan Rumoh Geudong sebesar Rp3,9 miliar kepada kuasa ahli waris pada 27 Juni 2023 – persis di hari kedatangan Presiden Jokowi ke Aceh untuk kick-off penyelesaian non-yudisial 12 kasus pelanggaran HAM berat.
Baca juga: Sejarah Rumah Geudong, Saksi Bisu Pelanggaran HAM Berat di Aceh...
Adapun anggarannya dari anggaran belanja tidak terduga (BTT).
Tapi sejumlah kelompok masyarakat sipil yang terdiri dari Kontras, Yayasan Paksa, Amnesty Internastional, dan Tim klarifikasi sejarah independen, meminta agar pembangunan monumen ini dihentikan sementara – pasca ditemukannya tulang manusia pada November tahun lalu.
Mereka khawatir, pengerjaan proyek ini berpotensi merusak barang bukti kejahatan di Rumoh Geudong.
"Kami organisasi masyarakat sipil menyesalkan adanya upaya pengabaian penemuan tulang manusia dalam pembangunan monumen di atas reruntuhan Rumoh Geudong," kata Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna.
Azharul Husna menilai pembangunan monumen seharusnya didahului dengan pengungkapan kebenaran, menggelar pengadilan HAM, dan menggali serta mengidentifikasi tulang manusia itu.
Komnas HAM juga diharapkan segera turun untuk menindaklanjuti temuan tersebut dan menindaklanjuti penyelidikannya jika diperlukan.
"Selain itu Kejaksaan Agung mesti mem-follow-up hasil penyelidikan Komnas HAM dengan menekankan bahwa temuan ini mampu menjadi dasar penguat kasus Rumoh Geudong," jelasnya.
Baca juga: Penghancuran Rumoh Geudong Dianggap sebagai Bentuk Pengabaian Suara Korban