BANDA ACEH, KOMPAS.com-Gabungan organisasi masyarakat sipil di Aceh menyesalkan penghancuran Rumoh Geudong yang merupakan saksi bisu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap korban.
“Penghancuran ini sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat. Suara mereka telah diabaikan dalam proses ini," kata Direktur Paska Aceh Farida Haryani, dalam keterangan tertulis, Jumat (23/6/2023).
Baca juga: Rumoh Geudong, Lokasi Terjadinya Pelanggaran HAM Berat di Aceh, Diratakan Jelang Jokowi Datang
Padahal, sejak 2017, para penyintas dan masyarakat sipil telah merawat cerita para korban dan penyintas, dan menuntut keadilan atas pelanggaran yang mereka alami.
Para penyintas secara rutin menyelenggarakan doa bersama dan membangun tugu peringatan pada 2018 untuk mengingat kekerasan yang terjadi masa lalu dan mengenang keluarga yang telah pergi.
Upaya itu untuk merawat sisa bangunan Rumoh Geudong dan membangun tugu peringatan menjadi ruang pemulihan korban serta pendidikan bagi generasi muda agar kekerasan yang sama tidak terulang lagi.
Insiatif korban ini sejalan dengan perspektif keadilan transisi yang menempatkan memorialisasi sebagai komponen penting dalam merawat kebenaran, pemulihan, dan memastikan pertanggungjawaban negara.
Baca juga: Pelanggaran HAM Rumoh Geudong, Tak Ada Alasan Kejaksaan Agung untuk Diam
Sebagai informasi, Rumoh Geudong di Pidie, Aceh, yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu kini sudah diratakan.
Tempat terjadinya penyiksaan selama berlakunya Daerah Operasi Militer di Aceh, mulai 1989 sampai 1998, diratakan menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo untuk kick-off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di lokasi tersebut.
“Kick-off melupakan kekerasan HAM masa lalu, dari 12 Provinsi di Indonesia terpilihlah Aceh dengan empat kabupaten dan terpilih di Pidie,” kata Penjabat Bupati Pidie Wahyudi Adisiswanto, di Pidie, Kamis (23/6/2023), seperti dilansir Antara.