LEMBATA, KOMPAS.com - Sedari dulu warga Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki tradisi untuk menjaga ekosistem laut yang disebut Muro.
Tradisi ini sempat ditinggalkan. Belakangan, warga dan nelayan mulai menyadari ketika habitat dan hasil tangkapan mulai menurun. Mereka berkeyakinan hal tersebut karena ada warisan yang mulai ditinggalkan, yakni Muro.
Kondisi ini juga yang mendorong Yayasan Pengembangan Masyarakat Lembata (Barakat), salah satu lembaga lokal di Lembata, untuk menghidupkan kembali tradisi Muro.
Direktur Yayasan Barakat Benediktus Bedil menjelaskan, Muro adalah sebuah kawasan di laut yang dilindungi dan dijaga oleh masyarakat.
Baca juga: Pj Bupati Lembata Geram karena Realisasi APBD 2023 Baru 68 Persen
Untuk menetapkan Muro, dimulai dengan kesepakatan bersama masyarakat adat.
Lalu, dilanjutkan dengan sumpah adat di Namang, sebuah tempat yang diyakini menjadi lokasi pertemuan antara tanah langu atau leluhur yang telah mati dan tanah lolon atau orang yang masih hidup.
Seusai ritual di Namang, dilanjutkan dengan pemasangan naning (tanda yang bisa dilihat oleh masyarakat setempat bahwa laut dan isinya sedang ‘murung’ atau tidak boleh diganggu dan penempatan balela atau tanda batas Muro).
Selanjutnya, kata Benediktus, semua masyarakat desa tanpa kecuali ikut menjaga wilayah laut tersebut dan mematuhi semua larangan tanpa ada keberatan.
Jika kesepakatan adat dilanggar secara sengaja atau tidak, pelaku harus mengakui perbuatannya dan memberi makan ribu ratu atau semua masyarakat desa dengan menyembelih ternak seperti kambing dan babi sebagai denda.
"Ini juga upaya pemulihan agar terbebas dari tulah," ujar Benediktus.
Apabila tidak diindahkan, malapetaka berupa kesengsaraan dan kematian akan menimpa pelaku dan semua keluarganya.
Sayangnya, ungkap Benediktus, aturan adat ini hanya berlaku lokal, tidak mengikat masyarakat atau nelayan dari desa atau wilayah lain.
“Sesungguhnya Muro dijalankan karena satu kesadaran penting masyarakat asli Lembata bahwa laut dan isinya adalah layanan alam karena ‘adanya’ tidak disediakan oleh siapa pun,” ujar Benediktus.