Benediktus melanjutkan, karena Muro adalah bentuk layanan alam maka harus dikelola untuk kepentingan bersama dalam nuansa persaudaraan dan keadilan sosial agar menunjang ketahanan pangan masyarakat.
"Istilah lokal disebut malu mara soga nara (menyediakan pangan saat rawan pangan dan mempertahankan keramahtamahan terhadap tamu dengan mengandalkan makanan yang ada di Muro meski kebun tidak menghasilkan padi dan jagung),” bebernya.
Baca juga: Beras Plastik Diduga Beredar di Lembata, Sampelnya Segera Dikirim ke BPOM Bandung
Di dalam kawasan Muro sendiri, ungkap Benediktus, masyarakat memiliki kearifan untuk menetapkan zonasi.
Pertama, tahi tubere atau jiwa laut. Lokasi ini seperti zona inti yang menjadi kamar ikan kawin-mawin dan beranak-pinak.
Karenanya, lokasi ini tidak boleh diganggu agar ikan bisa berkembangbiak menjadi banyak dan dewasa agar ketika keluar bisa ditangkap.
Kedua, ikan berewae atau ikan perempuan. Lokasi ini sama dengan zona penyangga.
Perempuan dan anak-anak diprioritaskan untuk menangkap ikan di lokasi ini tapi hanya dengan memancing. Sebab, mereka hanya punya kemampuan untuk menangkap ikan dengan cara itu.
Ketiga, ikan ribu ratu atau ikan untuk umum. Lokasi ini merupakan zona pemanfaatan.
Tempat ini akan dibuka dan ditutup sesuai kesepakatan. Ada yang setiap tahun, ada yang tergantung dari kebutuhan umum, dan ada yang dibuka 3-5 kali setahun untuk semua masyarakat menangkap beramai-ramai.
Hingga saat ini penerapan masih berbeda-beda antara satu desa dengan desa lainnya.