Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepenggal Cerita Perjalanan Menuju Wini, Pelosok yang Kini Jadi Beranda Nusantara

Kompas.com - 17/11/2023, 06:00 WIB
Baharudin Al Farisi,
Nursita Sari

Tim Redaksi

Sementara itu, di trotoar dekat Pantai Kelapa Lima, tampak tempat duduk santai berbentuk sasando, alat musik tradisional asal Pulau Rote. Tidak sedikit orang duduk di sana sambil menikmati semilir angin pagi yang berembus.

Di pesisir Pantai Kelapa Lima, terdapat sejumlah kapal nelayan yang sedang bersandar. Menurut Ari, para pemilik kapal tidak mendengarkan imbauan pemangku wilayah setempat.

"Sebenarnya sudah disediakan tempat di Pantai Oeba untuk melaut. Nanti kalau sudah ada pemeriksaan, mereka langsung kabur," kata Ari tertawa.

Setelah kami melewati Pantai Kelapa Lima, langit biru tiba-tiba berubah gelap. Betul saja, saat kami memasuki wilayah Naibonat, Ibu Kota Kabupaten Kupang, hujan deras turun mewarnai perjalanan kami membelah Hutan Camplong di Kecamatan Fatuleu.

Jangan membayangkan hutan hijau. Justru, kondisi hutan tampak menguning. Daun-daun kering akibat kemarau panjang beberapa bulan lalu.

“Ini kan baru hujan. Di bulan November, ini yang kedua kalinya hujan,” ungkap Armos di kursi kemudinya.

Baca juga: Patung Presiden Soekarno di Pos Lintas Batas Negara Motaain dan Wini

Setelah tiga jam perjalanan, kami mengisi perut di sebuah rumah makan padang di Kota Soe. Kata Armos, ini merupakan salah satu wilayah dataran tinggi di NTT.

Udaranya terasa sejuk saat saya pertama kali membuka pintu mobil. Ternyata benar, di utara Kota Soe terdapat Gunung Mutis yang tertutup kabut.

Usai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan. Pada momen kali ini, saya melihat segerombol anak-anak yang baru saja pulang sekolah. Mereka berjalan dengan bertelanjang kaki sambil bercanda di pinggir jalan.

Raut wajahnya semringah. Senyum manis khas orang timur dan gigi putih mereka tetap terlihat meski dari kejauhan.

Tidak terasa, mobil yang kami tumpangi sudah memasuki Jalan Nasional Trans Timor.

Saya melamun sejenak, tiba-tiba teringat kabel semrawut di Jakarta, yang tak saya temukan sepanjang perjalanan di NTT.

Saya tidak melihat kabel fiber optik semrawut "mengotori" langit NTT. Namun, tidak dapat dipungkiri, ada beberapa tiang miring yang dibiarkan begitu saja.

Baca juga: PLBN Skouw, Beranda Perbatasan Indonesia-Papua Nugini yang Tak Sekadar Megah

Lamunan saya tiba-tiba pecah karena perut terasa mual. Saya mabuk darat karena akses menuju perbatasan berkelok-kelok. Apalagi, kecepatan mobil yang dikemudikan Armos terbilang luar biasa cepat bagi saya.

Di tengah rasa mual, tiba-tiba saya teringat perkataan Ari saat kami makan siang tadi.

"Perjalanan sebenarnya menuju Wini akan dimulai ketika sudah masuk ke Kecamatan Kefamenanu. Dari Kefamenanu sampai Wini itu jalannya sempit, hanya muat satu mobil dan berkelok-kelok," ujar Ari saat kami makan siang.

Perut yang sudah "dikocok" pun makin terasa mual mengingat perkataan itu. Rasa penasaran tentang PLBN Wini berganti sejenak menjadi gelisah.

Ikuti terus cerita perjalanan saya berikutnya menuju beranda Indonesia yang berbatasan langsung dengan Timur Leste. Jangan ketinggalan...

 

*Perjalanan reporter Kompas.com Baharudin Al Farisi ke PLBN Wini merupakan kolaborasi bersama BNPP. Selain PLBN Wini, ada pula perjalanan ke lima PLBN lain, yakni Hadi Maulana di PLBN Serasan, Xena Olivia di PLBN Jagoi Babang, Ahmad Dzulfikor di PLBN Sei Nyamuk, Sigiranus Maruto Bere di PLBN Napan, dan Achmad Nasrudin Yahya di PLBN Sota. Ikuti cerita perjalanan kami dalam lipsus Merah Putih di Perbatasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com