Salin Artikel

Sepenggal Cerita Perjalanan Menuju Wini, Pelosok yang Kini Jadi Beranda Nusantara

Armos adalah sopir yang membawa saya, reporter Kompas.com Baharudin Al Farisi, beserta tim Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dari Kota Kupang menuju PLBN Wini, Kamis (16/11/2023).

"Tidak terkenal. Hanya dikenal daerah perbatasan," ujar Armos, santai.

Jawaban Armos bikin penasaran, mengalahkan rasa lelah saya usai menempuh tiga jam perjalanan membelah langit dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional El Tari Kupang.

Rupanya, kalimat Armos belum selesai.

Armos terus bercerita sepanjang Toyota Innova hitam yang ia kemudikan melaju 80-100 kilometer per jam menembus Jalan Timor Raya, akses utama dari Kupang menuju PLBN yang diresmikan Presiden Jokowi, Januari 2018.

"Tetapi setelah ada PLBN (Wini), wisatawan mulai banyak yang datang ke sana," lanjut dia, menyunggingkan senyum.

Cerita Armos tentang Wini sepanjang kami membelah Pulau Timor lagi-lagi membuat hati penasaran.

Bahkan, lebih bikin penasaran bila dibandingkan dengan kelanjutan alur cerita serial "Gadis Kretek" yang baru saya tonton tiga episode di dalam pesawat menuju Kupang.

Sepanjang perjalanan menuju PLBN Wini, saya tak henti bertanya soal apa pun yang baru saja kami lewati.

Adapun jarak antara Kupang dengan PLBN Wini mencapai 240 kilometer. Waktu tempuhnya sekitar enam jam. Bisa kurang, bisa pula lebih, bergantung kondisi kendaraan dan penumpangnya.

Di tempat ini, terdapat sebuah bangunan dua lantai yang mirip rumah adat Lopo. Saking miripnya, atap bangunan itu menggunakan daun lontar yang sudah dikeringkan.

Ari (21), sopir lain yang mengantarkan kami ke PLBN Wini, bercerita, bangunan mirip rumah adat Lopo itu dikhususkan bagi para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Lantai duanya digunakan tamu untuk menyantap hidangan.

"Sebenarnya di sini bagus, tapi mereka (para pelaku UMKM) yang membuatnya kotor. Mereka malah masaknya di luar, membuka lapak di luar, padahal sudah disediakan. Tempat makan juga sudah ada di atas," keluh Ari.

Sementara itu, di trotoar dekat Pantai Kelapa Lima, tampak tempat duduk santai berbentuk sasando, alat musik tradisional asal Pulau Rote. Tidak sedikit orang duduk di sana sambil menikmati semilir angin pagi yang berembus.

Di pesisir Pantai Kelapa Lima, terdapat sejumlah kapal nelayan yang sedang bersandar. Menurut Ari, para pemilik kapal tidak mendengarkan imbauan pemangku wilayah setempat.

"Sebenarnya sudah disediakan tempat di Pantai Oeba untuk melaut. Nanti kalau sudah ada pemeriksaan, mereka langsung kabur," kata Ari tertawa.

Jangan membayangkan hutan hijau. Justru, kondisi hutan tampak menguning. Daun-daun kering akibat kemarau panjang beberapa bulan lalu.

“Ini kan baru hujan. Di bulan November, ini yang kedua kalinya hujan,” ungkap Armos di kursi kemudinya.

Setelah tiga jam perjalanan, kami mengisi perut di sebuah rumah makan padang di Kota Soe. Kata Armos, ini merupakan salah satu wilayah dataran tinggi di NTT.

Udaranya terasa sejuk saat saya pertama kali membuka pintu mobil. Ternyata benar, di utara Kota Soe terdapat Gunung Mutis yang tertutup kabut.

Usai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan. Pada momen kali ini, saya melihat segerombol anak-anak yang baru saja pulang sekolah. Mereka berjalan dengan bertelanjang kaki sambil bercanda di pinggir jalan.

Raut wajahnya semringah. Senyum manis khas orang timur dan gigi putih mereka tetap terlihat meski dari kejauhan.

Tidak terasa, mobil yang kami tumpangi sudah memasuki Jalan Nasional Trans Timor.

Saya melamun sejenak, tiba-tiba teringat kabel semrawut di Jakarta, yang tak saya temukan sepanjang perjalanan di NTT.

Saya tidak melihat kabel fiber optik semrawut "mengotori" langit NTT. Namun, tidak dapat dipungkiri, ada beberapa tiang miring yang dibiarkan begitu saja.

Lamunan saya tiba-tiba pecah karena perut terasa mual. Saya mabuk darat karena akses menuju perbatasan berkelok-kelok. Apalagi, kecepatan mobil yang dikemudikan Armos terbilang luar biasa cepat bagi saya.

Di tengah rasa mual, tiba-tiba saya teringat perkataan Ari saat kami makan siang tadi.

"Perjalanan sebenarnya menuju Wini akan dimulai ketika sudah masuk ke Kecamatan Kefamenanu. Dari Kefamenanu sampai Wini itu jalannya sempit, hanya muat satu mobil dan berkelok-kelok," ujar Ari saat kami makan siang.

Perut yang sudah "dikocok" pun makin terasa mual mengingat perkataan itu. Rasa penasaran tentang PLBN Wini berganti sejenak menjadi gelisah.

Ikuti terus cerita perjalanan saya berikutnya menuju beranda Indonesia yang berbatasan langsung dengan Timur Leste. Jangan ketinggalan...

*Perjalanan reporter Kompas.com Baharudin Al Farisi ke PLBN Wini merupakan kolaborasi bersama BNPP. Selain PLBN Wini, ada pula perjalanan ke lima PLBN lain, yakni Hadi Maulana di PLBN Serasan, Xena Olivia di PLBN Jagoi Babang, Ahmad Dzulfikor di PLBN Sei Nyamuk, Sigiranus Maruto Bere di PLBN Napan, dan Achmad Nasrudin Yahya di PLBN Sota. Ikuti cerita perjalanan kami dalam lipsus Merah Putih di Perbatasan.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/17/06000011/sepenggal-cerita-perjalanan-menuju-wini-pelosok-yang-kini-jadi-beranda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke