PURWOREJO, KOMPAS.com - Rencana pertambangan batuan andesit di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, terus mendapat penolakan warga. Sampai saat ini, puluhan warga di desa tersebut masih konsisten menolak rencana tambang.
Berbagai cara warga untuk menolak rencana tambang telah dilakukan, mulai dari sejumlah aksi turun ke jalan, melakukan konsolidasi lintas kabupaten, membuat tugu perlawanan hingga menuntut Kementrian ESDM.
Pada puncaknya 8-11 Februari tahun 2022 yang lalu, kasus perlawanan warga Desa Wadas meledak dan menghebohkan warga Indonesia dan Purworejo khususnya. Kasus tersebut sempat menyeret puluhan media datang ke Desa Wadas untuk memberitakan kejadian itu.
Baca juga: Puluhan Warga Wadas Peringati Satu Tahun Tragedi Penangkapan oleh Aparat
Tepat satu tahun yang lalu, para warga penolak tambang selain menghadapi regulasi yang kurang memihak kepada mereka, warga juga berhadapan langsung dengan ribuan aparat kepolisian. Dengan dalih pengamanan pengukuran lahan tambang, sebanyak 60 warga ditangkap aparat dengan tuduhan menjadi provokator.
Para warga penolak tambang ini tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa). Untuk menunjukkan perlawanan terhadap tambang mereka menggelar peringatan satu tahun tragedi penangkapan warga oleh aparat.
Warga penolak tambang membangun tugu perlawanan di Dusun Randuparang. Dusun ini tepat berada di bawah lokasi rencana tambang batuan andesit Desa Wadas.
Salah satu tokoh penolak tambang Siswanto menjelaskan, peringatan bertajuk "Menolak Lupa Represi dan Kedzaliman Negara" ini disertai peresmian tugu perlawanan. Tugu yang dibuat dari hasil swadaya itu letaknya tepat di tengah-tengah jalan Dusun Randuparang.
"Ini tugu perlawanan ya, sudah kita resmikan setelah 7 tahun kami berjuang. Tugu ini kita buat kemarin saat putusan gugatan (kepada Kementrian ESDM) di PTUN Jakarta," kata Siswanto pada Kamis (9/2/2023).
Peringatan satu tahun tragedi penangkapan warga oleh aparat ini digelar di Desa Wadas bersama para pejuang solidaritas Wadas dari berbagai kota yang berlangsung mulai Rabu (8/2/2023) hingga Jumat (10/2/2023).
Baca juga: Tokoh Penolak Tambang Andesit di Wadas Akhirnya Setuju Tambang, Serahkan Berkas ke BPN
Tugu perlawanan berbentuk tangan mengepal ini, kata Siswanto, merupakan lambang perlawanan sejati warga Wadas terhadap rencana penambangan didesanya. Penolakan terhadap rencana penambangan ini akan terus dilakukan warga meski sebagaian warga Wadas lainnya menerima tambang.
"Kita tetap akan selalu bersikukuh (menolak tambang) karena bagi warga, tanah adalah identitas, bukan barang dagangan yang bisa diperjualbelikan," kata Siswanto.
Siswanto menceritakan, kejadian 8 Februari 2022 itu tak kan bisa dilupakan oleh sebagian besar warga. Saat itu ribuan aparat berseragam lengkap mengepung Desa Wadas dan melakukan penangkapan terhadap para warga penolak tambang.
"Seperti yang kita lihat, di Wadas penuh dengan aparat. Dimana aparat melakukan penangkapan, intimidasi ke warga yang menjadikan warga sangat trauma," kata Siswanto.
Pada peringatan ini digelar beberapa kegiatan di antaranya mujahadah dan doa bersama, longmarch di lokasi tambang, pasar solidaritas dan live sablon, peresmian tugu perlawanan dan panggung rakyat, serta pertunjukan baongan (kesenian tradisional khas Desa Wadas).
Selain melakukan perlawanan dengan melakukan berbagai aksi jalanan, warga juga melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Gugatan mereka berkaitan dengan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dirjen Mineral dan Batubara, Kementrian ESDM kepada Ditjen Sumberdaya Air, Kementrian PUPR untuk menambang batu andesit di Desa Wadas.
Baca juga: Komnas HAM Kunjungi Wadas, Warga Kontra Tambang Minta Ganjar Pranowo hingga Presiden Dievaluasi