Kapal tersebut memiliki tiga kelas, yaitu ruang satu (di bawah bagian depan), ruang dua (bawah bagian belakang), dan VIP (di atas).
Paschalis menyebut, ruang satu dan dua mayoritas ditempati oleh calon TKI nonprosedural, sementara di ruang VIP sebagian besar adalah turis, walau ada juga calon pekerja di sana.
Paschalis yang dalam penyelidikannya berada di ruang VIP duduk berdampingan dengan Bunga - bukan nama sebenarnya - seorang pekerja migran Indonesia nonprosedural.
Bunga bercerita kepada Paschalis telah beberapa kali ke Malaysia dan paspornya masuk daftar hitam (blacklist) sehingga tidak dapat lagi masuk ke negara itu.
Namun, paspornya bisa 'diputihkan' setelah dia membayar Rp 12 juta melalui jasa seorang calo yang dipanggil “Kapten”.
Baca juga: Tanjung Pengelih Malaysia, Jalur Khusus TKI Ilegal yang Gampang Diakses
Bunga menunjukkan bukti percakapan WhatsApp-nya kepada Paschalis, yang kemudian dibagikan kepada BBC Indonesia.
Menurut Bunga, setelah membayar, paspornya kembali aktif dan Bunga dapat melewati imigrasi di Indonesia untuk menggunakan kapal ke Pelabuhan Tanjung Pengelih.
“Keluar dari sini [Pelabuhan Pengelih]. Orang-orang di sana sudah tahu, dipanggilnya kita, dan ada bus [punya agen], lalu diantar ke KL,” ujarnya.
Mendekati berlabuh, kru kapal berbaju putih memanggil dan mencatat nama-nama penumpang lalu meminta paspor mereka.
Anggota tim Paschal, Indah (untuk alasan keamanan, kami tidak menggunakan nama sebenarnya) diarahkan oleh petugas kapal untuk masuk ke ruang dua di bagian belakang.
Ruangan itu, kata Indah, memiliki delapan baris kursi dan mayoritas diduduki perempuan.
Kemudian, Indah mendengar seorang petugas datang dan berkata, “Siapa di sini yang tiket urus sendiri?”
Indah yang mengurus tiketnya sendiri terdiam karena, ketika dia melihat sekeliling, tidak ada satu pun yang angkat tangan.
Lalu, kata Indah, petugas itu melanjutkan perkataannya, “'Jadi, semua diurus sama tekong ya, sama pengurus.' Lalu penumpang semuanya, saya lihat mengangguk-angguk, iya.”
Selanjutnya, masih cerita Indah, para kru kapal berkeliling. Mereka memaksa para penumpang untuk membeli kartu SIM Malaysia dan meminta paspor para penumpang untuk didata melalui telepon mereka.
“Mereka mendata satu-satu, tujuan ke mana. Pas saya ditanya, saya diam saja,” ujarnya.
Mereka juga menawarkan penukaran uang sebesar 10 ringit.
Baca juga: Sepanjang 2022, 77 TKI Asal Sampang Dideportasi dari Malaysia
Indah menirukan perkataan petugas itu, "Ayo tukar uang karena harus ada uang tunjuk, minimal 10 ringgit. Tekong bantu 500 ringgit, ibu-ibu yang punya uang rupiah silakan ditukar".
Indah menambahkan, mayoritas penumpang adalah warga Indonesia yang secara penampilan seperti para pekerja, bukan turis.
Seperti seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Perempuan itu bercerita kepada Indah bahwa dia pernah kerja delapan tahun jadi tukang sapu-sapu di Malaysia.
“Mereka menggunakan logat Jawa. Di sebelah saya ada delapan orang rombongan dari Jember. Di belakang saya, bapak-bapak yang dideportasi dan di-blacklist. Saya yakin semua itu calon pekerja, hanya saya saja yang penumpang umum di ruang itu,” ujarnya.
Setelah melewati perjalanan yang memakan waktu sekitar 40 menit, Indah kemudian menyelinap ketika para petugas sibuk berbincang untuk kemudian turun dari kapal yang bersandar.
“Lalu di depan imigrasi Pelabuhan Tanjung Pengelih saat saya menunggu tim lain, seorang bertopi merah tanya, 'Kakak sudah ceklist?' Saya bilang buat apa, katanya buat dicek saya,” kata Indah.
Baca juga: Malaysia Siap Investasi Peternakan Ayam Rp 350 Miliar di Batam
Budi bercerita, kru kapal mendata masing-masing penumpang, dan mengambil lalu mengembalikan paspor mereka.
Seorang petugas kapal, ujarnya, kemudian berteriak, memerintahkan para penumpang untuk tidak beranjak dari kursinya ketika kapal telah bersandar di Malaysia, sampai ada aba-aba dari mereka.
Budi merekam video petugas itu, yang kemudian ditunjukkan kepada BBC Indonesia.
Petugas itu berkata, ”Jangan keluar dari kapal. Pokoknya kalau ada yang keluar biarin saja... sampai kami bilang keluar yang A, yang B baru keluar.”
Semua penumpang di dalam ruangan tersebut, ujar Budi, patuh dengan perintah petugas itu.
Baca juga: Penyelundupan Kosmetik Ilegal dari Malaysia Senilai Rp 500 Juta Berhasil Digagalkan, Begini Modusnya
Masih di dalam kapal, Budi mengatakan, seluruh penumpang lalu dibagikan tiket kapal pulang, termasuk dirinya.
“Saya dibagikan tiket pulang. Jadi tiket itu seperti tiket hantu supaya dikira turis yang akan langsung pulang,” katanya.
Di ruangannya, kata Budi, mayoritas adalah warga Indonesia. Budi menyimpulkan itu karena kebanyakan bercerita menggunakan bahasa Indonesia, beberapa memakai bahasa daerah.
Lalu, kata Budi, mayoritas dari mereka membawa tas besar dan ransel layaknya orang pindah dan bekerja di Malaysia.
Di samping Budi, terdapat dua orang dari Jawa Timur. Mereka bercerita bahwa tujuan ke Malaysia adalah untuk bekerja. Budi menirukan perbincangan mereka saat itu.
“Nanti kerja apa di Malaysia? Kurang tahu juga. Sampai di sana sudah ada yang jemput? Kami diatur di sana. Ada biaya dikeluarkan? Tidak ada, semua ditanggung sama tekong.”
Baca juga: 5 Tersangka Selundupkan Sabu dari Malaysia Demi Upah Rp 5 Juta Sampai 40 Juta
Setelah turun dari kapal, Paschalis dan tim berkumpul di Pelabuhan Pengelih. Situasi di pelabuhan, kata Paschalis, tidak ada kehidupan atau keluarga yang menjemput.
“Hanya ada pemain saja, agensi-agensi yang menjemput mereka. Jadi ketika kami sampai di sana kami lihat ada beberapa orang yang memegang manifest daftar penumpang,” ujar dia.
Sekitar satu jam menunggu, kata Paschalis, akhirnya para penumpang keluar satu per satu.
Seorang bertopi merah dan rekannya mendata para penumpang itu lalu mengarahkan ke kendaraan yang telah menunggu, yaitu sebuah bus tingkat dua, bus tingkat satu, dan satu minibus.
Paschalis mendatangi bus tersebut dan bertanya ke salah satu supir.
Supir itu, kata Paschalis, bercerita bahwa para penumpang yang diangkut merupakan calon pekerja yang akan dibawa ke Kuala Lumpur.
Baca juga: 5 Penyelundup 26,5 Kg Sabu Asal Malaysia Ditangkap di Batam