NUNUKAN, KOMPAS.com – Masyarakat Adat Dayak Agabag, di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, dilanda ketakutan dan kekhawatiran akan hilangnya 5 desa mereka di Kecamatan Sebuku.
Seluruh tanah adat di Desa Tetaban, Desa Melasu Baru, Desa Bebanas, Desa Lulu dan Desa Sujau, masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan kelapa sawit.
Sehingga hak hidupnya terus tergerus dan keluarga mereka terancam terusir dari desanya sendiri.
Baca juga: Viral, Video Penjaga Kebun Sawit di Riau Didatangi Harimau Sumatera, Menjerit Minta Jangan Dibunuh
"Kami selalu hidup dalam kekhawatiran, kepada siapa kami harus mengadu? Semua cara kita tempuh sejak 1998. Bahkan pencaplokan lahan adat oleh perusahaan kita suarakan saat kedatangan Wamen ATR/BPN. Tapi semua belum ada hasil sampai hari ini," ujar Jonni, perwakilan warga 5 desa di Kecamatan Sebuku, menyuarakan kegelisahannya, Rabu (13/4/2022).
Jonni merupakan sejarawan lokal, dan menjadi salah satu tokoh adat juga tokoh Masyarakat yang dipercaya menyuarakan kegelisahan warga 5 desa di Kecamatan Sebuku.
Ia sempat menjabat sebagai Kades Tetaban pada 2019–2021, dan merupakan keturunan salah satu penghulu dan tetua adat.
Jonni mengatakan, ada 3 perusahaan yang kini telah menguasai lahan lahan desa, masing-masing, HGU perusahaan Kelapa Sawit PT Karangjoang Hijau Lestari, PT Bulungan Hijau Perkasa (BHP), dan masuk Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Adindo Hutani Lestari.
Perusahaan memancangkan tiang batas sebagai peringatan bahwa lahan di 5 desa mereka, merupakan kawasan terlarang untuk diolah dan dipergunakan masyarakat sekitar.
Bahkan seluruh fasilitas pemerintahan, baik Kantor Camat, Rumah Sakit Pratama, gedung sekolah, sampai makam leluhur dan rumah yang mereka tinggali, tak terkecuali masuk dalam areal HGU Perusahaan.
Baca juga: Kapal Penyelundup Minyak Kelapa Sawit Tujuan Malaysia Ditangkap di Riau, 10 ABK Diamankan
"Peta yang ada, hanyalah luasan areal HGU milik perusahaan. Ketika kita tanyakan ke Pemerintah mana luasan tanah milik desa, tidak ada yang tahu pasti, karena memang semua masuk HGU dan dikuasai perusahaan," tegasnya.
Dengan kondisi tersebut, masyarakat setempat seakan dikebiri dan dihilangkan hak hidup mereka.
Hutan sebagai arena berburu dan mencari penghidupan tak lagi bisa dimasuki, sumber pendapatan mereka sama sekali hilang.
Selain itu, ketika oemerintah menggulirkan bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR), mereka tidak bisa menjaminkan tanah mereka, karena alasan masuk kawasan HGU.
"Kami seakan menyewa di tanah sendiri, membuat sertifikat tanah ditolak, bahkan permohonan pengaspalan jalan tidak bisa dikabulkan dengan alasan HGU dan HGU. Bagaimana kami hidup? Bagaimana anak cucu kami nanti? Saat ini kami tidak bisa tidur nyenyak, karena takut kalau saat kami tidur, datang alat berat menghancurkan rumah rumah kami. Kami selalu takut desa kami digusur dan kami terusir dari tanah nenek moyang kami," keluh Jonni.
Tak sampai di situ, masyarakat harus menghadapi ancaman perusahaan sampai kriminalisasi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.