Pada 2010, warga desa bernama Karno ditangkap aparat dengan tudingan mencuri buah kelapa sawit, padahal ia mengambil tanamannya sendiri di lahan yang dulu adalah lahan garapan yang ia buka.
Karno dipenjara, dan rumahnya diratakan dengan ekskavator. Lahan sawitnya diambil oleh perusahaan.
Kemudian di 2012, ada juga warga bernama Mansur, tiba-tiba didatangi 3 mobil penuh polisi dengan tuduhan yang sama.
Lalu pada 2020, warga lain bernama Suwandey, mendadak ditangkap polisi dengan tuduhan pencurian buah sawit. Suwandey digelandang aparat beserta mobil truk kosong miliknya.
Dan kasus terakhir yang dicatatnya, terjadi pada 2022. Ada 3 warga Kecamatan Sebuku yang dibawa ke Polda Kaltara, lagi lagi dengan tudingan pencurian buah Kelapa Sawit.
"Sampai kapan kami harus begini? kami berharap supaya Desa Kami dikeluarkan dari lahan HGU. Hanya itu yang kami minta, kami takut anak keturunan kami tidak lagi bisa tinggal di Desa kami nantinya," jelas Jonni.
Baca juga: Melantai di BEI, Perusahaan Kelapa Sawit TLDN Lepas 517,68 Juta Saham Baru
Kepala Desa Bebanas, Jamri juga berharap, kasus yang bergulir sejak sekitar 2018 ini bisa menjadi perhatian.
Apalagi, masyarakat adat tidak diberi lahan plasma oleh pihak perusahaan, sehingga mereka hanya menggarap lahan beberapa meter yang berada jauh dari permukiman dan tidak masuk HGU, demi bertahan hidup.
"Saya pernah menanyakan lahan plasma kepada perusahaan PT BHP dan PT KHL, semua tidak jelas. Yang parah BHP, waktu ditanya dimana lahan plasma yang diberikan ke masyarakat, jawabannya malah lahan plasma sekedar formalitas. Padahal lahan plasma tentu di SK-kan oleh Bupati Nunukan," katanya.
Jonni dan Jamri, menuturkan, perusahaan mempraktikkan cara-cara licik dan culas untuk menguasai lahan masyarakat Adat Dayak Agabag.
Perusahaan meminta tanda tangan warga setiap kali mengadakan pertemuan dengan masyarakat.
Mereka mengajak sejumlah kepala desa dan kepala adat untuk plesiran, menjamu dengan minuman keras, dan meminta agar menandatangani kertas yang tidak diketahui isinya.
"Itu kenapa tanah kami tiba-tiba saja masuk milik perusahaan, cara tidak terpuji dan sama sekali tidak manusiawi dilakukan demi memperluas lahan garapan demi keuntungan sendiri. Mereka memanfaatkan kepolosan kami yang tidak berpendidikan," kecam Jonni.
Tadinya, sekitar 1998, sejumlah perusahaan kelapa sawit datang ke wilayah mereka dengan izin pengolahan kayu.
Sekitar 2004, mereka mulai menggarap lahan dan menanam sawit. Konflik lahan terjadi sekitar 2018, sampai hari ini, dan belum ada kejelasan atas kasus ini.