Beberapa bulan yang lalu, Rumah Belajar Kosarek kedatangan seorang murid baru bernama Yon.
Di mata Adit dan Putri, Yon adalah anak yang cerdas. Dia cukup lancar membaca, menulis, dan juga bisa mengenali angka.
Namun ketika mengerjakan soal-soal latihan dari buku paket berbahasa Indonesia, Yon tertinggal dibandingkan murid-murid lain.
Adit dan Putri kemudian memberi kelas tambahan untuk Yon menggunakan bahasa Mek. Upaya itu ternyata bisa ditangkap dengan baik oleh Yon.
Baca juga: SPBU Akan Dibangun di Pedalaman Papua
Seperti Yon, banyak anak-anak Kampung Kosarek lainnya yang tak fasih berbahasa Indonesia. Akibatnya, mereka kesulitan memahami konsep ilmu dalam bahasa yang asing bagi mereka.
"Kami mau memperkenalkan pendidikan dan pengetahuan yang baru di luar dunia mereka tapi dengan cara yang dekat, bahasa yang dekat di hati mereka, paling tidak untuk anak usia dini," tutur Putri.
Bahasa Mek akhirnya menjadi bahasa utama yang mereka gunakan untuk mengajar anak-anak usia dini, setidaknya sampai mereka cukup fasih berbahasa Indonesia.
Sejumlah lagu anak-anak populer Indonesia mereka terjemahkan ke dalam bahasa Mek agar anak-anak bisa mengerti.
Baca juga: Kisah Perjuangan Guru Pedalaman Papua, Ingin Wujudkan Mimpi Siswa jadi Orang Nomor Satu
Mereka kemudian dibantu oleh sebuah yayasan yang mengadvokasi pendidikan berbahasa ibu untuk menyediakan alat-alat belajar berbahasa Mek.
Salah satunya adalah buku-buku cerita berbahasa Mek yang pemilihan ceritanya disesuaikan dengan kearifan lokal dan kehidupan sehari anak-anak Kosarek.
"Ceritanya dipilih yang dekat dengan anak-anak. Tidak ada cerita tentang kereta api karena di sini tidak ada kereta, tapi misalnya menceritakan tentang kus kus," jelas Putri.
Hasilnya, kata dia, anak-anak tersebut menunjukkan perkembangan belajar yang baik.
"Kami pikir enggak adil melabeli anak cerdas atau tidak karena kemampuan membaca atau berhitung dalam bahasa yang bukan bahasa ibu mereka," ujar dia.
Baca juga: Cerita Ones, Guru Pedalaman Papua Dapat Beasiswa di Rusia, Ingin Bangun Sekolah di Kampung Halaman
Tidak ada satu pun anak-anak yang memahami cara berhitung dengan konsep 10 jari, termasuk menggunakan tanda tambah atau kurang.
Masyarakat Kosarek ternyata memiliki cara sendiri dalam mengidentifikasi angka secara verbal.
Angka disimbolkan oleh bagian-bagian tubuh, dengan total mencapai 27. Sebagai contoh, angka tiga disimbolkan oleh jari tengah, bukan tiga jari yang diangkat secara bersamaan.
Baca juga: Kisah Guru di Pedalaman Papua, Gaji Habis Beli Air dan Minyak Tanah
"Konsep numerasi itu sudah ada. Tapi ketika itu di bahasa Indonesia, pakai simbol 1, simbol 2, lambang tambah, kurang, mereka tidak mengerti karena itu bukan makanan mereka, bukan bahasa mereka, di sini tidak ada tulisan. Semua budaya verbal," jelas Adit.
Itu menyadarkan Adit dan Putri, bahwa mereka tidak bisa memaksakan konsep berhitung dengan 10 jari, tanpa pendekatan berhitung yang selama ini mereka kenal.
Mereka kemudian mencoba menggunakan kartu bergambar posisi jari atau bagian tubuh yang menunjukkan angka dalam bahasa Mek.
Dengan cara itu, anak-anak ternyata menunjukkan kemampuan yang mengesankan mengenali konsep angka.
Baca juga: Surat dari Pedalaman Papua untuk Menteri Nadiem: Ibu Guru, Kami Takut Meja Patah
Hal itu lagi-lagi membuktikan bahwa setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing di luar suku dan latar belakang mereka.
"Ternyata konsep budaya setempat lewat pendidikan kontekstual dan akar rumput terbukti lebih aktif untuk mentransfer ilmu modern di tengah masyarakat tradisional," kata dia.
Ada lebih banyak pemuda-pemudi setempat yang mereka latih untuk menjadi pendamping bagi anak-anak setempat.
Hanya saja, ada sebagian orang tua yang menganggap rumah belajar itu sebatas "latih-latih" atau "bermain-main" karena metode belajar yang berbeda dengan sekolah formal pada umumnya.
Statusnya sebagai sekolah alternatif juga membuat Mome Lemnep Ae tidak bisa menerbitkan ijazah, yang bagi sebagian orang tua dianggap penting dari sebuah proses belajar.
Baca juga: Kisah Dokter Soeko, Bertugas di Pedalaman Papua, Wafat dalam Kerusuhan Wamena
Mereka berupaya mengakomodasi aspirasi itu dan tengah mendaftarkan rumah belajar mereka sebagai pusat kegiatan belajar mengajar nonformal.
Dengan demikian, anak-anak didik mereka bisa mengikuti ujian kejar paket A dan mendapatkan ijazah setara kelulusan SD.
Hal itu, juga memberi peluang bagi anak-anak itu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di masa yang akan datang.
Namun bagi Adit dan Putri, proses belajar anak didiknya hingga bisa bertumbuh menjadi anak-anak yang berilmu lah yang terpenting.
Baca juga: Kisah Guru di Pedalaman Papua, Ajarkan Pancasila dan Lagu Indonesia Raya
Seperti Yanes dan Yuman yang tadinya tidak bisa baca tulis, kini telah mampu menciptakan karya. Keduanya bahkan kini telah menjadi pendamping belajar bagi anak-anak di Kampung Kosarek.
"Kami terharu dan bangga melihat perkembangan mereka, dari masih kecil dengan bahasa Indonesia patah, menulis tidak bisa, sampai sekarang mereka menjadi tutor lokal untuk anak kelas 2 SD," kata Putri.
"Ada jiwa-jiwa yang kami sentuh dan sampai sekarang mau bertumbuh bersama kami itu yang membuat kami berpikir, 'Oh ini alasan kami mau meninggalkan kenyamanan di kota'," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.