Adit dan Putri memulai misi mereka dengan berjalan kaki menyusuri 26 kampung di Kabupaten Yahukimo pada penghujung 2017.
"Kami ingin merasakan sendiri, melihat, dan mencari tahu kira-kira tempat mana yang Tuhan tunjuk kami untuk menyelenggarakan pendidikan," kata Putri.
Tidak ada akses jalan raya dan transportasi darat yang bisa digunakan. Mereka harus berjalan menyusuri hutan untuk mencapai kampung-kampung di Yahukimo.
Opsi lainnya adalah menggunakan pesawat perintis yang tentunya berbiaya mahal.
Sebanyak 26 kampung mereka singgahi dalam kurun 42 hari perjalanan, salah satunya Kampung Kosarek.
Baca juga: 9 Rumah Baca Kampayekan Literasi dengan Cara Unik, Dikelola Mantan Mucikari hingga Aggota TNI Polri
Adit dan Putri menemui banyak anak usia sekolah di Kosarek, tetapi mereka tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung. Sebab, terakhir kali sekolah formal beroperasi di distrik itu ialah pada 2006.
Seluruh penduduk di Kampung Kosarek beragama Kristen, sehingga setiap pekan mereka mengikuti Sekolah Minggu di gereja. Berbagai kegiatan masyarakat pun dikoordinasikan oleh gereja.
Namun, tingkat literasi yang rendah membuat anak-anak itu tidak bisa membaca injil meski telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mek, bahasa asli mereka.
Melihat situasi itu, Adit dan Putri meyakini bahwa Kampung Kosarek lah tempat yang ditunjuk Tuhan untuk mereka.
Baca juga: Saat KKN, Mahasiswa di Lampung Barat Bangun 15 Rumah Baca
Mereka kemudian menyampaikan misi untuk menggerakkan kembali pendidikan di kampung itu kepada misionaris gereja.
"Waktu kami memperkenalkan diri dan menyampaikan visi kami untuk menggerakkan pendidikan di daerah terpencil, mereka [misionaris gereja] senang," kata Adit.
"Bagi mereka, kami adalah pergumulan dan jawaban doa mereka, dan bagi kami mereka juga adalah jawaban dari doa-doa kami," ujarnya.
Ini adalah keputusan besar yang membuat mereka harus tinggal jauh dari keluarga, meninggalkan segala fasilitas dan kenyamanan di kota.
Misi itu mereka mulai bermodal uang tabungan pribadi. Rumah pertama yang mereka tempati di Kosarek adalah sebuah bangunan sederhana berdinding kayu yang telah belasan tahun tidak dihuni.
Mendapatkan kebutuhan pokok tidak lagi semudah datang ke toko terdekat. Bahan-bahan pokok harus mereka datangkan dari kota menggunakan pesawat, dengan biaya lebih mahal.
Baca juga: HUT Ke-76 RI, Ini Harapan Masyarakat di Pelosok Papua
Sumber listrik bergantung pada panel surya, dan pada saat itu, belum ada sambungan internet yang bisa menghubungkan mereka dengan dunia luar. Tetapi tekad mereka lebih kuat di tengah segala keterbatasan itu.
"Kami benar-benar nekat. Kami tidak ada pengalaman misionaris, tidak ada pengalaman crowdfunding, cari dana atau apa pun. Kami hanya komitmen ke Tuhan," kenang Adit.
Pada masa-masa awal di Kosarek, Adit dan Putri mengasuh Sekolah Minggu sebanyak dua kali dalam sepekan, mengajarkan literasi dasar dan alkitab untuk anak-anak usia dini.
Mereka juga melatih dan mendampingi pemuda setempat yang dulunya putus sekolah untuk menjadi tutor belajar bagi anak-anak yang lebih muda.
Baca juga: Viral, Video Barter Emas di Pedalaman Papua, 1 Gram Dapat 1 GB Internet, Ini Ceritanya
Berawal di sebuah bangunan sederhana berdinding kayu dan beralas rumput, Mome Lemnep Ae menjadi tempat pertama bagi anak-anak Kosarek untuk menimba ilmu setelah belasan tahun lamanya.
Di Mome Lemnep Ae, anak-anak mendapat pelajaran agama, matematika, dan bahasa. Tetapi, materi pelajaran disampaikan dengan cara yang variatif seperti melalui dongeng, permainan, kuis berhadiah, dan lagu.
"Saya bikin video hari pertama belajar di alas rumput. Untuk pertama kalinya mereka merasa kita belajar, tapi kayak main," kenang Putri.
Baca juga: Perjuangan Telma di Pedalaman Papua demi Tuntaskan Buta Aksara
Ketika murid-muridnya hendak belajar menulis atau menggambar, maka Adit dan Putri akan mengajak mereka menyanyikan lagu yang liriknya berupa instruksi untuk melakukan gerakan jari ringan sebagai pemanasan.
Lagu itu diciptakan sendiri oleh Adit dalam bahasa Mek, sehingga anak-anak mampu memahaminya dengan baik.
Adit dan Putri juga membekali anak didik mereka dengan keterampilan nonteknis.
Setiap tahun mereka meminta anak-anak untuk tampil di hadapan banyak orang dengan bernyanyi, bermain musik, drama, atau membaca puisi untuk melatih kepercayaan diri mereka.
Baca juga: Pandemi Covid-19, Guru di Pedalaman Papua Butuh Tambahan Dana Operasional
Sebab, sebagian besar anak-anak di Kosarek pada awalnya adalah pribadi yang pemalu dan rendah diri karena tidak memiliki cukup ruang untuk beraspirasi.
"Sekarang kalau anak Mome Lemnep Ae ditanya siapa yang mau buat penampilan, semua angkat tangan baku rebut, karena kepercayaan diri mereka sudah tumbuh," jelas Putri.
Setiap pulang sekolah, mereka juga menjalankan peternakan yang dikelola bersama.
Anak-anak bisa menyumbang ubi untuk makanan ternak ayam dan bebek. Mereka juga memiliki jadwal piket untuk membersihkan kandang.
"Ketika usia ayam sudah cukup, hasilnya masuk ke tabungan pendidikan anak-anak. Kami tidak memungut biaya, kami hanya ingin anak-anak punya tanggung jawab dan kemandirian yang tinggi," kata Putri.
Baca juga: Bagikan Buku Saku untuk Anak, Cara Sosialisasi Corona di Wilayah Pedalaman Papua