Susi mengklaim, pemerintah tidak mungkin langsung melakukan pembangunan tanpa proses perembukan.
Ia juga mengaku selalu melibatkan tokoh masyarakat adat Tengger dalam proses perencanaan pengembangan kawasan TNBTS.
Karena itu, ia memastikan tidak ada gejolak dari warga Tengger terkait dengan rencana pembangunan proyek wisata di kawasan TNBT tersebut.
"Saya belum mendengar gejolak di bawah, termasuk dari teman-teman di dinas pariwisata kabupaten, mereka belum pernah menceritakaan apapun kalau ada gejolak, atau ada permasalahan. Saya belum pernah mendengar begitu. Memang tidak langsung dari desa, tapi dari teman-teman kabupaten," kata dia.
Baca juga: Seekor Elang Jawa dan Elang Ular Bido Dilepasliarkan di Kawasan Bromo Tengger Semeru
Adapun terkait pembangunan wisata yang dianggap melanggar etika lingkungan, ia mengaku sejauh ini tidak ada permasalahan.
"Saya kira, saya membaca selama ini, dari kementerian, dari pusat, selalu melakukan koordinasi secara intens dengan semua pihak, termasuk dengan pihak TNBTS, yang juga menjaga ada wilayah wilayah zona konservasi, zona tertentu yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar," kata dia.
"Itu sepanjang yang saya dengar sih, saya kira tidak ada masalah. Apalagi saya tidak pernah mendengar keluhan dari daerah, misalnya melaporkan kondisi ketidaksesuaian. Tidak ada," ucap Susi.
Sebelumnya diberitakan, rencana pengembangan kawasan Taman Nasional Bromo, Tengger, Semeru (TNBTS) menjadi salah satu "Bali Baru" menuai polemik.
Staf Walhi Jatim Lila Puspita mempertanyakan pembangunan proyek wisata yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah di kawasan TNBTS.
Ketika wilayah hidup masyarakat adat Tengger ditetapkan menjadi taman nasional pada 1982 silam, ada penetapan zonasi yang membuat orang Tengger tidak leluasa membuka atau memperluas lahan mereka.
Kini, masyarakat Tengger yang lebih dulu mendiami wilayah tersebut hanya diperbolehkan tinggal dan berladang di zona tertentu.
Baca juga: Bantuan Rp 25,99 Miliar Dikucurkan untuk Bedah 430 Rumah di KSPN Bromo-Tengger-Semeru
"Karena bertani bagi orang Tengger itu, selain secara kultural (dianggap sakral), mereka juga berusaha untuk menyelamatkan tanah mereka," kata Lila.
Dampak dari adanya pembangunan proyek wisata di dalam kawasan TNBTS ini tidak hanya mengakibatkan erosi ekologi, namun juga erosi kultural.
Ia menilai, secara aturan proyek wisata dalam kawasan TNBTS tidak melanggar, tetapi mengabaikan etika lingkungan.
Pembangunan proyek wisata di tanah masyarakat adat Tengger ini juga bertentangan dengan nilai-nilai spiritual dan budaya yang dianut warga Tengger selama ini.
"Karena kalau ngomong lingkungan, kan tidak hanya ngomongin soal tanaman atau hewan yang ada di sana. Tapi juga manusia dan keberlangsungan hidupnya di masa depan," tutur Lila.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.