Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan.
Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan
Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore.
Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan.
Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tentara PETA Diresmikan, Cikal Bakal TNI
Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari para tentara Peta Blitar.
Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan.
Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari.
Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945
Baca juga: Sinopsis Sang Kiai, Perlawanan KH Hasyim Asyari terhadap Penjajahan Jepang
Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap.
Mengetahui hal tersebut, Jepang mengirimkan pasukan dengan tank dan pesawat udara.
Saat itu Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang meminta agar tentara Peta menyerah dan kembali ke satuannya masing-maisng.
Sebagian pasukan Supriyadi kembali dan nyatanya mereka ditangkap, ditahan lalu disiksa oleh polisi Jepang.
Namun Supriyadi, Muradi dan sisa pasukannya tetap melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.