KOMPAS.com - Pemerintah Kota Blitar berencana membangun Museum Peta atau Museum Peta Supriyadi di gedung eks-markas Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Jalan Sodanco Supriyadi.
Untuk membangun museum tersebut, pihak Pemkot Blitar harus merelokasi tiga sekolah yang ada di kawasan bekas markas Peta Blitar.
Relokasi ditargetkan selesai tuntas akhir 2022, sehingga pembangunan musem bisa dilakukan di awal tahun 2024.
Baca juga: Terkendala Pandemi, Wali Kota Blitar Tetap Optimistis Museum Peta Supriyadi Selesai 2024
Dikutip dari Kompas.id, Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Peta) dibentuk pada 3 Oktober 1943 oleh panglima tertinggi tentara keenambelas (Rikugun) Jepang, Letnan Jenderal Kumakichi Harada yang menguasai wilayah Jawa dan Madura.
Pasukan itu dibentuk Letnan Jenderal Kumakichi mengeluarkan Osamu Sirei Nomor 44 pada 3 Oktober 1943.
Penetapan tersebut berisi pembentukan pasukan sukarela untuk membela Tanah air yang disebut juga Boei Giyugun.
Baca juga: Bangun Museum Peta, Pemkot Blitar Targetkan Relokasi 3 Sekolah Rampung 2023
Selain itu dijelaskan juga tentara sukarela tesebut akan beranggotakan penduduk asli dan berada di bawah perintah panglima tertinggi (saiko shikikan)
Saat dibentuk pertama kali, pasukan ini disebut Tentara Sukarela. Baru pada pertengahan tahun 1944, pasukan itu populer disebut Pembela Tanah Air (Peta).
Pasukan ini dibentuk bukan bagian dari militer Jepang seperti Heiho. Oleh Jepang, pembentukan pasukan itu diarahkan untuk pertahahan wilayah menghadapi sekutu.
Pasukan Peta disiapkan untuk mempertahankan daerah-daerah karasidenan setempat.
Baca juga: Hendak Bangun Museum Perjuangan Peta, Pemkot Blitar Masih Harus Relokasi 3 Sekolah
Yang pertama komandan batalion yang disebut daidanco. Mereka kebanyakan berasal dari pengajar atau guru.
Selanjutnya adalah pangkat komandan peleton atau shodanco dan biasanya disandang oleh mereka yang berpendidikan minimal sekolah menengah.
Kemudian komandan regu atau budanco yang diberikan pada mereka yang berpendidikan minimal sekolah dasar.
Baca juga: Pemberontakan PETA di Blitar
Di posisi bawah terdapat pangkat prajurit atau giyuhei. meraka adalah para pemuda yang belum pernah mendapat pendidikan.
Pendidikan calon tentara Peta dipusatkan di Bogor yang berada di bawah unit pelatihan (kyoikutai department of the renseitai) bernama Jawa Boei Giyugun Kanbu Resentai yang kemudian disebut Jawa Boei Giyugun Kanbu Iku Tai.
Pelatihan angkatan pertama digelar pada 18 Oktober 1943 hingga 7 Desember 1943 di Bogor.
Pelatihan untuk daidanco membutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan dan mereka dilatih kepemimpinan dan kemampuan merekrut anggota batalion.
Baca juga: Soeprijadi: Masa Muda, Pemberontakan Blitar, dan Nasibnya
Sementara pelatihan untuk chudanco dilakukan selama tiga bulan. Setelah pelatihan, mereka akan dikirim kembali ke daerah untuk melatih anggota kompinya masing-masing.
Mereka akan disebar ke batalion atau daidan di Jawa dan Madura. Lalu mereka diminta untuk merekrut para pemuda di daerahnya untuk dijadikan komandon regu (budanco) dan prajurit (gyuhaei).
Pada November 1944, ada 66 batailion atau daidan Peta yang dibentuk di Jawa dan 3 batalion Petandi Bali.
Berdasarkan jumlah batalion peta diperkirakan ada 79 orang Indonesia yang dilatih menjadi komandan batalion (daidanco), sejumlah 200 komandan kompi (chudanco), sejumlah 620 komandan pleton (shodanco) dan 2.000 komandan regu (budanco).
Baca juga: Tidak Tutup Makam Bung Karno Selama Natal dan Tahun Baru, Ini Penjelasan Wali Kota Blitar
Batalion di Blitar adalah satu dari tiga batalion Karesidenan Kediri. Dua batalion terakhir ada di Kediri dan Tulunggagung.
Pemberontakan Peta Blitar terjadi pada 14 Februari 1945 dimotori oleh Supryadi.
Dikutip dari Kompas.com, pemberontakan dipicu kejadian usai latihan militer.
Sore itu, anggota Daidan Blitar baru pulang latihan. Tiba-tiba mereka mendengar jeritan para petani.
Baca juga: Terowongan Niyama Romusha: Sejarah, Pembangunan, dan
Petani dipaksa menjual padinya kepada kumiai (organisasi pembeli padi) melebihi jatah yang telah ditentukan.
Hal tersebut membuat para petai terancam kelaparan karena padi kebutuhan konsumsi mereka berkurang.
Para tentara PETA juga mendengar Jepang telah memerintahkan pembelian telur besar-besaran dengan harga murah untuk tentara PETA. Padahal mereka sendiri tidak pernah mendapatkan jatah telur.
Kekecewaan tentara PETA makin menjadi-jadi ketika mereka ditugasi mengawas pekerjaan para romusha membangun kubu di Pantai Selatan.
Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan
Sejak dini hari, para romusha dipaksa bekerja berat hingga sore.
Tanpa makan dan tanpa upah. Makanan dan bantuan kesehatan sangat minim sehingga separuh dari mereka jatuh sakit dan meninggal dalam waktu singkat.
Pada akhir 1944, sejumlah penduduk laki-laki di desa-desa sekitar mereka berkurang sehingga sebagai gantinya dikerahkan romusha perempuqan.
Para perempuan pun mengalami penyiksaan dan menjadi korban. Jumlah korban romusha perempuan lebih banyak dari romusha laki-laki.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Tentara PETA Diresmikan, Cikal Bakal TNI
Penderitaan rakyat memunculkan rasa nasionalisme dan keprihatinan dari para tentara Peta Blitar.
Supriyadi pun pernah menggelar rapat rahasia. Saat itu ia mengungkapkan bahwa tujuan perlawanan adalah untuk mencapai kemerdekaan.
Kemudian, Shodanco Suparjono juga kerap mengajak bawahannya untuk menyanyikan Indonesia Raya dan Di Timur Matahari.
Shodanco Partoharjono bahkan mengibarkan bendera Merah Putih di sebuah lapangan besar pada 14 Februari 1945
Baca juga: Sinopsis Sang Kiai, Perlawanan KH Hasyim Asyari terhadap Penjajahan Jepang
Mereka melepaskan tembakan mortir, senapan mesin, dan granat, lalu keluar dengan senjata lengkap.
Mengetahui hal tersebut, Jepang mengirimkan pasukan dengan tank dan pesawat udara.
Saat itu Jepang menguasai seluruh Kota Blitar. Pimpinan tentara Jepang meminta agar tentara Peta menyerah dan kembali ke satuannya masing-maisng.
Sebagian pasukan Supriyadi kembali dan nyatanya mereka ditangkap, ditahan lalu disiksa oleh polisi Jepang.
Namun Supriyadi, Muradi dan sisa pasukannya tetap melawan. Mereka membuat pertahanan di lereng Gunung Kawi dan Distrik Pare.
Setelah melewati perlawanan yang luar basa, para pasukan Peta Blitar dijebak.
Baca juga: Apa Saja Infrastruktur Peninggalan Penjajahan Jepang di Indonesia?
Supriyadi dan 68 orang lainnya ditangkap oleh jepang dan mereka diadili di depan Mahkamah Militer Jepang di Jakarta.
Ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati.
Mereka yang dipidana mati yakni dr. Ismail, Muradi, Suparyono, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo.
Sementara Supriyadi sendiri tidak jelas nasibnya dan tidak disebut dalam persidangan. Tidak diketahui apakah ia tewas dalam pertempuran atau dihukum mati secara rahasia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.