Saat masa perjuangan baik melawan Jepang maupun Belanda, becak-becak itu menjadi kuris logistik serta candu.
Berta bercerita, saat masih muda ia ikut meracik candu bersama kakeknya.
Baca juga: Kembalikan Citra Wisata Malioboro, Warga Yogyakarta Bagi-bagi 100 Porsi Pecel Lele
"Aku itu masak candu. Dari bentuk balok besar dimasak dibuat jadi butir-butir kecil. Baunya seperti aspal kebakar itu lho. Kalau aku tak kasih madu biar manis,” kata Berta menggambarkan proses pembuatan candu.
Ia menyebut candu yang beredar di Jawa, dikirim dari luar negeri karena candu tak tumbuh di Jawa. Candu yang beredar di Yogyakarta didatangkan dari Semarang dengan kurir asal Blora.
“Orang-orang datang, nanti nyeret pakai alat cangklong panjang itu lo, didulit ditaro dicangklong, dibakar, dihisap, ya ndak sampai dua menit habis itu," kata dia.
"Engkong tinggal ngitung per orang habis berapa butir. Itu dulu biasanya mulai pada nyeret jam empat sore sampai jam 6.30 malam lah bubarnya,” tambh dia.
Baca juga: Heboh Warga Curhat Parkir Mahal di Malioboro, Sultan HB X: Buat Saja Parkir Premium
Berta bercerta neneknya yang ia sapa dengan engkong nenek sering menjamu kawan-kawan suaminya dengan menggelar selamatan dan pentas wayang kulit.
Termasuk juga menjamu para tukang becak yang bekerja bersamanya.
“Pasti setahun dua kali emak nyiapin slametan untuk para tukang becaknya, ngundang mudinnya, emak duduk di pojokan. La ndak ngerti apa-apa, cuma menyiapkan lengkap. Tukang becak nggak boleh pulang dulu karena kendurenan lalu mbawa sego golong dan lainnya."
Baca juga: Diduga Wisatawan Sempat Ditendang PKL, Paguyuban Lesehan Malioboro: Laporkan Langsung, Jangan Takut
"Rutin sampai emak meninggal. Emak itu jago pesta, duit banyak, anak cuma dua. Tapi emasnya sedikit, ya uangnya buat ngopeni (mengurus) banyak orang,” ujar Berta.
Sang nenek juga sering membuat jamu bersama istri kawan-kawan suaminya yang kebanyakan adalah perempuan Jawa dan peranakan.
“Emak suka bikin kunir asem, beras kencur, itu sama istri-istri sinkek yang orang-orang Jawa, baik-baik hubungannya,”ungkap Berta.
Bisnis candu pun berhenti. Becak pun mulai dijual karena anak-anaknya tak bisa melanjutkan. Saat itu Berta masih duduk di bangku SMA.
“Engkong meninggal, candu berhenti, becak pun mulai dijual karena papa mama ndak bisa neruske (meneruskan), susah ngurus orang-orang dan nagihnya. Akhirnya ganti usaha burung puyuh,” kenang Berta.
Baca juga: Pedagang hingga Tukang Becak Kompak Tunjukkan Sikap Sempurna Saat Indonesia Raya Dikumandangkan