KOMPAS.com - Becak dan Yogyakarta adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sepanjang Jalan Malioboro, sangat mudah ditemukan tukang becak.
Mereka dengan setia menawarkan jasa kepada pegunjung untuk berkeliling kawasan di sekitar Malioboro.
Dikutip dari nationalgeographic.grid.id. Sejarah becak di Yogyakarta tak lepas dari perjalanan Ong Kho Sioe seorang penguasaha beras dan becak yang tersohor di Pecinan Ketandan pada tahun 1940-an.
Ia disebut sebagai pemiliki Gedong Tinggi atau Rumah Kongsi atau Rumah Candu yang ada di Ketandan.
Baca juga: 2 Kejadian Hebohkan Malioboro, Dari Lele Hingga Wisatawan Ditendang
Tercatat dia memiliki empat rumah kongsi. Yang pertama adala rumah kongsi OKS (Ong Kho Sioe) yang merangkap rumah candu.
Yang kedua adalah rumah kongsi OOP (Ong O Poo). Yang ketiga adalah rumah kongsi Suryatman, dan rumah kongsi Kantil. Terakhir, satu rumah candu yang kini menjadi toko Mirota.
Rumah kongsi OKS yang bergaya kolonial masih ada dan pemiliknya adalah cucu Ong Kho Sioe yang bernama Alberta Gunawan (59).
Ia bercerita jika engkongnya, Ong Kho Shoe adalah salah satu pioner yang membuka usaha di Ketandan dengan branding nama OKS.
“Engkong menghidupi orang-orang dari Cina yang datang ke Ketandan dengan usaha becak dan beras itu. Setiap hari sejak zaman papa sampai zaman saya kecil itu Engkong Emak masak bubur dengan taburan ubi,” ujar Alberta yang akrab dipanggil Berta.
“Setiap hari, ya ngasi makan orang-orang itu sampai orang itu bisa usaha sendiri.”
Ia menyebut salah satu nama alumni rumah kongsi OKS adalah generasi pertama pemilik Toko Ramai di Malioboro saat ini.
Sang engkong mengawali usaha becak dengan merakit sendiri di bengkel miliknya. Kala itu para pembecaknya berkumpul di Mergangsan.
“Ceritanya, awal merakit becak itu engkong merakit sendiri, punya bengkel. Ngumpulin dari toko besi ada ruji, rangka, lalu slebor dan terpal sama Pak Sami. Dulu para pembecaknya ngumpul di Mergangsan,” ujar Berta.
Menurutnya salah satu alasan sang kakek merakit becak adalah untuk mengantar istrinya mengirim beras ke konsumen serta kawan-kawannya, dan tamu-tamu dari Cina.
Saat masa perjuangan baik melawan Jepang maupun Belanda, becak-becak itu menjadi kuris logistik serta candu.
Berta bercerita, saat masih muda ia ikut meracik candu bersama kakeknya.
Baca juga: Kembalikan Citra Wisata Malioboro, Warga Yogyakarta Bagi-bagi 100 Porsi Pecel Lele
"Aku itu masak candu. Dari bentuk balok besar dimasak dibuat jadi butir-butir kecil. Baunya seperti aspal kebakar itu lho. Kalau aku tak kasih madu biar manis,” kata Berta menggambarkan proses pembuatan candu.
Ia menyebut candu yang beredar di Jawa, dikirim dari luar negeri karena candu tak tumbuh di Jawa. Candu yang beredar di Yogyakarta didatangkan dari Semarang dengan kurir asal Blora.
“Orang-orang datang, nanti nyeret pakai alat cangklong panjang itu lo, didulit ditaro dicangklong, dibakar, dihisap, ya ndak sampai dua menit habis itu," kata dia.
"Engkong tinggal ngitung per orang habis berapa butir. Itu dulu biasanya mulai pada nyeret jam empat sore sampai jam 6.30 malam lah bubarnya,” tambh dia.
Baca juga: Heboh Warga Curhat Parkir Mahal di Malioboro, Sultan HB X: Buat Saja Parkir Premium
Termasuk juga menjamu para tukang becak yang bekerja bersamanya.
“Pasti setahun dua kali emak nyiapin slametan untuk para tukang becaknya, ngundang mudinnya, emak duduk di pojokan. La ndak ngerti apa-apa, cuma menyiapkan lengkap. Tukang becak nggak boleh pulang dulu karena kendurenan lalu mbawa sego golong dan lainnya."
Baca juga: Diduga Wisatawan Sempat Ditendang PKL, Paguyuban Lesehan Malioboro: Laporkan Langsung, Jangan Takut
"Rutin sampai emak meninggal. Emak itu jago pesta, duit banyak, anak cuma dua. Tapi emasnya sedikit, ya uangnya buat ngopeni (mengurus) banyak orang,” ujar Berta.
Sang nenek juga sering membuat jamu bersama istri kawan-kawan suaminya yang kebanyakan adalah perempuan Jawa dan peranakan.
“Emak suka bikin kunir asem, beras kencur, itu sama istri-istri sinkek yang orang-orang Jawa, baik-baik hubungannya,”ungkap Berta.
Bisnis candu pun berhenti. Becak pun mulai dijual karena anak-anaknya tak bisa melanjutkan. Saat itu Berta masih duduk di bangku SMA.
“Engkong meninggal, candu berhenti, becak pun mulai dijual karena papa mama ndak bisa neruske (meneruskan), susah ngurus orang-orang dan nagihnya. Akhirnya ganti usaha burung puyuh,” kenang Berta.
Baca juga: Pedagang hingga Tukang Becak Kompak Tunjukkan Sikap Sempurna Saat Indonesia Raya Dikumandangkan
Sayangnya tak ada barang milik Ong Kho Sioe yang tertinggal. Pipa cangklong candu miliknya turut disimpan di dalam kubur OKS.
Yang ada hanya sedikit kenangan panci masak candu, peralatan bengkel becak, dan rumah yang akan berpindah tangan.
“Rumah ini akan dijual atas kesepakatan keluarga papa dan adiknya. Sakjane yo eman (sebetulnya sayang), banyak kenangangan. Tapi ya ini kesepakatan. Ini statusnya HGB, kami ya ikut aturan saja,” ujar Sishe.
Baca juga: Keluh Kesah Penarik Becak, Sudah Tersingkir oleh Ojek Online Kini Dihantam Pandemi
“Tak banyak yang tersisa dari rumah candu dan becak OKS. Ndak ada catatan bon, tagihan becak, buku kas. Bahkan kami cari di foto-foto engkong, seperti foto waktu engkong meninggal itu ya ndak ada tampak becak satu pun," kata Sishe Eliyawati cucu Ong Si Sihe yang menempati Rumah Kongsi.
"Hanya tersisa ingatan saya dan kakak saya, juga alat bengkel yang namanya tanggem. Candu, yang tersisa hanya wajan bekas masak candu,” tambah dia.
Ia bercerita saat masih kecil sering bermain di atas becak atau melihat kegiatan tukang becak yang memperbaiki becak.
Baca juga: Sejarah Kampung Pecinan Ketandan Yogyakarta dan Kapitan Tan Jin Sing
Atau mengecat slebor dan membuat atap kanvas dengan menggunakan tanggem untuk membengkokkan rotan atap becak.
Ia menyebut becak karya sang kakak sebagai pelopor slebor (lumbung) becak gambar pemandangan di Yogyakarta.
Salah satu warga Ketandan yang masih ingat keberadaan becak yang lahir di Pecinan adalah Ong Muk Nang yang lahir tahun 1940. Dia adalah generasi kedua becak OOP (Ong O Poo)
Ia memperlihatkan jari telunjuk tangan kanannya yang putus satu baku akibat jeruji becak yang berputar di tahun 1970-an.
Baca juga: Viral di Instagram, Kampung Ketandan Yogyakarta Dikira Shanghai
“OOP [dan] OKS sama-sama buka rumah kongsi untuk tempat tinggal orang-orang yang datang dari Cina. Lima kamar di sini. Di sini juga rumah candu, ya bengkel becak,”ujar Muk Nan.
Ia menyebut becak OOP berasal dari semarang yang jumlahnya sekitar 100 becak.
“Becak OOP dari Semarang datang 100, tapi ya tahun 70-an lebih sudah selesai. OKS itu besar (perusahaan) becaknya, ada 3 lagi. Lupa itu tahun berapa wong sudah lebih dari 40 tahun lalu," kata dia.
Di Ketandan ada lima perusahaan becak mulai OKS (Ong Kho Sioe), OOP (Ong O Poo), TIN (Tan In Nong), Istimewa dan yang terakhir adalah Kurnia.
Baca juga: Inilah Kampung Ketandan yang Viral Karena Mirip Shanghai di China
Hingga saat ini Ketandan pun menjadi misterius karena cerita becak-becaknya sedikit yang terungkap.
Di Yogyakarta sendiri ada merek becak lainnya yakni Kalimantan, PUN, King Kong, Sinar Laut, Pasti Jaya, dan Caroko. Becak Caroko adalah perusahan becak pertama yang dimiliki oleh pengusaha beretnis Jawa pada 1968.
Ketandan adalah sepetak pecinan Yogyakarta yang kerap terlewat oleh para pelawat namun begitu memikat dengan cerita becak yang masih terawat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.