Beberapa waktu lalu PBB menuduh pemerintah Indonesia dan Indonesian Tourism Development Corporation (ITDC) sebagai pengembang Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika melanggar HAM masyarakat lokal.
Para pakar PBB yang menyusun laporan itu menyampaikan bahwa dalam proses pembangunan KEK Mandalika telah terjadi perampasan tanah yang agresif, penggusuran dan pengusiran paksa terhadap masyarakat adat Sasak, intimidasi, dan ancaman serta tidak ada ganti rugi.
Dalam laporannya PBB menyebut terdapat 150 warga yang diduga menjadi korban.
Baca juga: 191 Makam Direlokasi untuk Sirkuit MotoGP Mandalika, Ada yang Berusia Seratusan Tahun
Balasan resmi pemerintah Indonesia telah dilayangkan kepada PBB sesuai tenggat waktu yang diberikan yakni pada 3 Mei 2021. Jawaban itu dapat diakses oleh publik di sini.
Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Jenewa menyayangkan langkah PBB mempublikasi laporan berisi tuduhan pelanggaran HAM saat proses verifikasi pemerintah Indonesia masih berlangsung. PTRI menyebut hal itu sebagai politisasi 'cerita sepihak'.
Dalam surat resminya, PTRI menyatakan bahwa dalam proyek KEK Mandalika bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di wilayah Lombok. Pemerintah Indonesia pun telah berkomunikasi dengan Majelis Adat Suku Sasak dan mendapat dukungan dari mereka.
Direktur Utama ITDC, Abdulbar M. Mansoer, mengakui reaksi keras PTRI.
"Mereka merasa bahwa ini adalah suatu 'hack job', upaya untuk menjatuhkan Indonesia," kata Abdulbar di kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
Baca juga: PBB Sebut Pembangunan Wisata Mandalika Melanggar HAM, Istana: Kami Sedang Pelajari
Kelompok pertama adalah warga yang belum mendapatkan kompensasi pembebasan lahan mereka.
"Kita melakukan pembayaran dengan sebisa kita, meski sekarang pariwisata sedang terpuruk," kata Abdulbar. "Kalau ditotal sekitar 140 miliar sudah kita keluarkan untuk memberikan hak bagi penduduk dan mereka dengan sukarela menerima."
Baca juga: Komisi X: Jangan Sampai Isu Megaproyek Mandalika Jadi Bola Liar bagi Pemerintah
Meski demikian Abdulbar tidak menampik bahwa ada pemilik lahan yang belum mau menerima dana konsinyasi yang telah disiapkan.
"Ada yg beberapa yang belum mau terima tapi pelan-pelan mereka ambil konsinyasi itu," katanya.
Kelompok kedua adalah warga yang menempati lahan milik pemerintah yang disebut pengguna lahan; totalnya ada 180 KK.
Baca juga: Soal Banjir di Mandalika, 17 Dusun Terendam Air dan Proyek Sirkut MotorGP Terus Berjalan
Menurut Kepala Bidang Profesi dan Keamanan (Propam) Polda NTB Kombes Pol Awan Hariono selaku ketua tim percepatan dan verifikasi, 90 KK telah direlokasi ke sebuah lahan di sebuah tempat bernama Dusun Ngolang yang lokasinya tidak jauh dari proyek sirkuit.
Sementara, menurut dokumen ITDC yang dikirimkan ke PBB, KK lain yang belum direlokasi, saat ini bermukim di lokasi yang berbeda-beda; baik kembali ke desa lama mereka maupun ke alamat yang saat ini belum diidentifikasi oleh ITDC.
Kelompok ketiga adalah warga yang merasa tidak pernah menjual atau melepas tanah, yang ITDC sebut pengklaim.
Baca juga: Mandalika Banjir, Bagaimana Nasib Proyek Sirkuit MotoGP?
"Kita hanya bisa ke pengadilan, kita cek ke BPN, kita juga ada tim teknis dari kabupaten dan provinsi yang mengidentifikasi itu," kata Abdulbar.
"Kalau kita salah, keputusan pengadilan kita penuhi."
Nasib penduduk yang lahannya terdampak proyek KEK Mandalika, menurut Abdulbar, tergantung mereka termasuk kelompok yang mana.
"Sejak 2016, ITDC menerima 28 tuntutan hukum, dua diantaranya dimenangkan oleh penuntut, sementara tujuh kasus masih berada di pengadilan," tulis PTRI dalam surat balasannya kapada PBB.
Masih menurut keterangan PTRI, tahun 2008 ITDC menerima lahan proyek Mandalika seluas 1,175 hektar dari pengembang swasta sebelumnya bernama LTDC.
Terdapat 135 hektar yang diklaim milik warga lokal. Setelah proses verifikasi 109,59 diantaranya secara legal dimiliki ITDC.
Baca juga: Pembangunan Sirkuit MotoGP Mandalika Diduga Sebabkan Banjir, Ratusan KK Kena Dampak