Suloso memulai usahanya sejak tahun 2000 dengan modal awal Rp 10 juta. Usahanya terus berkembang hingga produk perhiasan manik-manik miliknya, diminati konsumen dari dalam dan luar negeri.
Di dalam negeri, Suloso memiliki pasar tetap di Bali, NTT dan beberapa provinsi di Kalimantan. Sedangkan di luar negeri, antara lain Italia, Jepang, Thailand, Spanyol dan China.
Dalam 20 tahun menjalankan usaha, Suloso telah merekrut 17 orang untuk bekerja bersamanya.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia, omzet penjualan rata-rata di atas Rp 50 juta per bulan.
Baca juga: Petani Rumput Laut NTT Menangi Gugatan Tumpahan Minyak Australia Setelah 12 Tahun
"Tapi, sejak ada pandemi Covid-19 turun jauh, rata-rata hanya Rp 10 juta - Rp 15 juta per bulan," ungkap Suloso.
Dia mengaku bersyukur masih bisa mempertahankan usahanya meski dalam setahun terakhir terjadi penurunan omset penjualan.
Sejak pandemi melanda dunia, puluhan perajin manik-manik di desanya tidak bertahan hingga akhirnya gulung tikar.
Meski kini pendapatan dari usaha memproduksi dan menjual manik-manik berkurang drastis, Suloso meyakini situasi ini akan segera berlalu.
Dia pun masih mempertahankan para karyawannya untuk tetap bekerja meski diikuti dengan rasionalisasi pendapatan harian maupun waktu kerja masing-masing.
"Dalam kondisi normal, rata-rata pendapatan karyawan masih diatas UMR. Tapi, sejak pandemi ada penurunan. Karena permintaan barang semakin sedikit, jam kerja juga berkurang sehingga memengaruhi pendapatan," kata Suloso.
Inovasi produk dan strategi pemasaran memanfaatkan berbagai platform digital membantu dirinya mempertahankan usaha yang dirintas sejak 20 tahun lalu.