Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tergusur dari Hutan Adat Pubabu, Masyarakat Adat Besipae Hidup di Bawah Pohon

Kompas.com - 21/08/2020, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

Humas Pemprov NTT Marius Jelamu berdalih bahwa lahan itu sudah diserahkan oleh tetua adat kepada pemerintah daerah pada 1985 dan dibuat sertifikat atas lahan itu.

"Kita sertifikatkan tanah itu dan itu menjadi milik provinsi," jelasnya.

Pada 1987, selama 25 tahun ke depan, wilayah itu digunakan sebagai areal proyek peternakan sapi. Pada tahun 2010, dua tahun sebelum kontrak kadaluarsa, tawaran perpanjangan dari Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan ditolak warga.

Akan tetapi, pada 2012, pemerintah daerah kembali mengeluarkan serfitikat dengan luas 3.780 hektare, tanpa sepengetahuan masyarakat.

Baca juga: Mengenal Sina Beranti, Pakaian Pengantin Adat Suku Tidung di Uang Pecahan Rp 75.000

"Ini yang menjadi pertanyaan. Itu belukar masyarakat masuk semua, pekarangan masyarakat juga ada di dalam, bukan hanya hutan adat saja," jelas Nikodemus.

Pada 2012, masyarakat Besipae menentang keputusan untuk memperpanjang izin atas tanah. Mereka berpendapat bahwa hutan adat diperlukan untuk dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai kawasan konservasi - yang oleh warga lokal dikenal sebagai Nais Kio.

Aktivitas bertani dan berburu tidak diperbolehkan dalam Nais Kio.

Kendati ada perlawanan dari masyarakat adat untuk melindungi hutan adatnya, Gubernur NTT Viktor Laiskodat memutuskan untuk menjalankan rencananya mengembangkan kawasan itu sebagai area peternakan, perkebunan dan pariwisata.

Baca juga: Baju Adat Riau Ada di Uang Baru Rp 75.000, Gubernur Syamsuar: Surprise buat Kami

Pada Mei silam, gubernur mengunjungi Desa Mio di mana warga menyatakan penolakan mereka dengan melarangnya masuk ke wilayah adat dan memblokir jalan.

Pemblokiran jalan ini direspons dengan aksi kekerasan untuk membongkar jalan yang dilakukan oleh kepolisian.

Hal itu memicu aksi histeris dari para perempuan adat Besipae yang menanggalkan baju mereka sebagai simbol dukacita atas perampasan lahan hutan adat.

Sejak saat itu, rumah-rumah masyarakat adat yang menempati hutan adat lambat laun digusur, kerap kali dengan intimidasi.

Baca juga: Penjelasan Gambar Pakaian Adat di Uang Baru Edisi Khusus Kemerdekaan Rp 75.000

Pengingkaran hak masyarakat adat?

Warga enggak dipindahkan karena rumah yang disediakan Pemprov NTT tidak layak.Aliansi Solidaritas Besipae Warga enggak dipindahkan karena rumah yang disediakan Pemprov NTT tidak layak.
Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi menyebut aksi sepihak pemprov NTT yang merusak rumah warga merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak konstitusional masyarakat adat yang diatur dalam undang-undang dasar.

"Pemerintah harus segera menarik aparat keamanan yang masih berada di lokasi kejadian, segera membebaskan warga yang ditahan dan melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak yang trauma," jelas Rukka.

Lebih jauh lagi, penyerangan terhadap komunitas Besipae juga merupakan pelanggaran terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.

Baca juga: 75 Tahun Kemerdekaan RI, Masyarakat Adat Masih Berjuang untuk Kesetaraan

Hal ini diamini oleh Ahmad Bumi, kuasa hukum masyarakat adat Besipae yang menyebut semestinya pemerintah menghormati putusan MK tersebut, bukannya "mencaplok" hutan adat demi investasi.

"Hutan adat kan kekuatan hukumnya sudah ada melalui putusan MK itu, seharusnya semua pihak menghormati," kata dia.

"Tetapi hutan adat yang sudah ditetapkan sejak Indonesia belum merdeka dan dibawa secara turun temurun ini tiba-tiba dicaplok untuk investasi, seharusnya itu tidak boleh," ujar Ahmad.

Selain perlakuan intimidatif, lanjutnya, dua masyarakat adat Besipae, yakni Kornelius Numley (64) dan Anton Tanu (18) mendapat tindakan kriminalisasi dari aparat kepolisian setempat. Mereka ditangkap tanpa surat dan alasan yang jelas.

Salah satu di antaranya, Anton Tanu, sudah dibebaskan sementara hingga kini nasib Kornelius belum diketahui.

Baca juga: Masyarakat Adat Dayak Lundayeh Bentangkan Merah Putih di Ketinggian 1.103 Meter, Ini Tujuannya

Pemprov siapkan lahan pengganti

Praktik social distance ternyata sudah lama dilakukan oleh masyarakat adat Orang Rimba - Praktik social distance ternyata sudah lama dilakukan oleh masyarakat adat Orang Rimba
Humas Pemprov NTT Marius Jelamu menjelaskan bahwa pemerintah daerah telah menyiapkan lahan pengganti seluas 20 x 40 meter bagi 37 keluarga yang tinggal di lahan yang disengketakan.

"Tapi mereka tetap tidak mau. Sementara kemiskinan terbesar di Nusa Tenggara Timur itu ada di Pulau Timor ini tempat mereka melakukan aksi. Maka kami mau mengelola kawasan yang besar itu untuk pemberdayaan ekonomi," jelas Marius

Nikodemus Manao, anggota masyarakat adat Besipae menjelaskan bahwa saat ini telah ada empat rumah yang disediakan oleh pemerintah provinsi, kendati begitu warga enggan untuk menempatinya karena rumah itu dianggap tidak layak.

"Rumah yang sementara dibangun pemerintah provinsi itu Cuma empat unit rumah saja. Sementara masyarakat yang jadi korban penggusuran ada 29 KK," jelas Nikodemus.

Baca juga: Tolak Penggusuran Lahan Masyarakat Adat Pubabu, Ratusan Warga Demo di Kantor Gubernur NTT

"Dan rumah yang mereka bangun itu di belukar masyarakat yang lain, artinya mereka mengklaim itu milik pemerintah provinsi tetapi itu milik saudara-saudara kami," imbuhnya kemudian.

'Ironis' dan mencederai kemerdekaan

Warga Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), menggelar aksi unjuk rasa di halaman kantor Gubernur NTTKOMPAS.com/SIGIRANUS MARUTHO BERE Warga Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), menggelar aksi unjuk rasa di halaman kantor Gubernur NTT
Intimidasi dan diskriminasi terbaru yang dialami masyarakat Besipae terjadi sehari setelah Presiden Joko Widodo mengenakan pakaian adat mereka dalam peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-75 di Istana Merdeka pada Senin (17/08).

Dalam unggahan Instagramnya, Presiden Joko Widodo hanya menjelaskan terkait makna busana dan kain tenun yang dikenakannya tanpa menyinggung konflik lahan yang dialami masyarakat adat Besipae.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 

Tahukah Anda, dari daerah mana gerangan busana adat yang saya kenakan di Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di halaman Istana Merdeka, hari ini? Dari Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Busana ini berupa kain tenun dengan motif Berantai Kaif Nunkolo. Motifnya dimodifikasi dari bentuk belah ketupat dengan batañg tengah yang berartì sumber air. Bagian pinggirnya yang seperti bergerigi melambangkan wilayah berbukit dan berkelok-kelok. Sementara warna merah melambangkan keberanian laki-laki Nunkolo, serta berbagai aksesori yang menambah indah kain tenun ini, termasuk tas sirih pinang yang tersampir di samping. Makan sirih pinang adalah budaya persatuan, juga melambangkan tanda kasih dan hormat.

A post shared by Joko Widodo (@jokowi) on Aug 17, 2020 at 12:21am PDT

Rukka Sombolinggi dari AMAN menyebut apa yang terjadi sebagai "ironis" dan "mencederai kemerdekaan".

"Di balik baju adat itu ternyata ada potret gelap masyarakat adat yang ada di sana dan ini tidak hanya terjadi di sana tapi di hampir seluruh wilayah Indonesia."

"Masyarakat adat masih mengalami kekerasan," ujar Rukka.

"Ini kan hal-hal yang saya sebut cedera janji kemerdekaan karena ternyata hampir delapan dekade, 75 tahun Indonesia merdeka, tapi masyarakat adat belum merdeka," jelasnya kemudian.

Baca juga: Nasib Masyarakat Adat yang Terancam Investasi Hingga Kriminalisasi...

Momentum untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat?

Martheda Esterlina Selan, bersama sejumlah warga Pubabu-Besipae membuat laporan polisi di Polda NTTKOMPAS.COM/SIGIRANUS MARUTHO BERE Martheda Esterlina Selan, bersama sejumlah warga Pubabu-Besipae membuat laporan polisi di Polda NTT
Konflik-konflik dan kekerasan yang terjadi pada masyarakat adat, menurut Rukka, "menjadi momentum" untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarkat Adat (RUU Masyarakat Adat) yang sudah 15 tahun terkatung-katung.

Padahal, RUU ini sangat fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.

RUU ini kembali masuk agenda prioritas prolegnas setelah dua kali sebelumnya gagal ketuk palu dalam dua periode masa kerja DPR sebelumnya.

Rukka menjelaskan, meski masuk prolegnas DPR, namun dia menyatakan bahwa RUU ini "tidak sungguh-sungguh menjadi prioritas pemerintah dan DPR".

Baca juga: Akan Digusur dan Merasa Diintimidasi, Masyarakat Adat Pubabu Trauma

"Meskipun dibicarakan, drafnya pun bermasalah. Ini artinya DPR dan pemerintah menutup mata dengan realitas," tegas Rukka.

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menegaskan bahwa pemerintah pusat berkomitmen penuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat dan mendorong DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.

"Saya kira ini sangat bergantung pada dinamika politik di DPR. Pemerintah sebagai eksekutif mendorong agar DPR segera bisa menyelesaikan itu," kata dia.

"Bola politiknya ada di DPR dan pemerintah hanya bisa mendorong supaya bisa segera selesai," lanjut Donny.

Baca juga: Banyak Kriminalisasi Masyarakat Adat dengan Tuduhan Pembakaran Hutan

Akan dibahas 'dalam waktu dekat'

Masyarakat Krayan membentangkan bendera 12 x 10 meter di ketinggian 1.103 m mrnyambut HUT RI 75 dan sebagai simbol nasionalis warga perbatasan (dok Heberly)Kompas.com/Ahmad Dzulviqor Masyarakat Krayan membentangkan bendera 12 x 10 meter di ketinggian 1.103 m mrnyambut HUT RI 75 dan sebagai simbol nasionalis warga perbatasan (dok Heberly)
Status RUU itu berada di Badan Legislatif DPR. Anggota Badan Legislatif DPR, Guspardi Gaus, mengatakan pembahasan rancangan undang-undang ini belum dilakukan karena prioritas Baleg saat ini adalah menuntaskan RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law.

"Tentu di dalam pembahasan ada namanya skala prioritas. Hari ini kita di Baleg sedang fokus membahas tentang [rancangan] undang-undang Cipta Kerja," ujar Guspardi.

"Dalam waktu dekat akan dilakukan pembahasan tentang [RUU] Masyarakat Adat," lanjutnya tanpa menjelaskan lebih lanjut kapan pembahasan akan dilakukan.

Baca juga: Masyarakat Adat Rejang Luncurkan Buku Pengetahuan Pengobatan

Akan tetapi, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi berpendapat pengesahan RUU Cipta Kerja yang dia sebut berpihak pada pengusaha, justru akan menjadi "senjata pamungkas" perampasan wilayah adat sehingga aksi serupa yang dialami oleh masyarakat Besipae akan semakin sering terjadi.

"Ini akan menjadi senjata pamungkas untuk memastikan perampasan awilayah adat, memastikan tanah-tanah petani terancam digusur diberikan kepada perusahaan dan buruh-buruh hanya akan menjadi budak," cetus Rukka.

"Ini akan menimbulkan krisis bagi bangsa jika Omnibus Law disahkan," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com