KOMPAS.com - Sejumlah masyarakat adat Besipae di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, melaporkan pengrusakan rumah di tanah adat yang membuat mereka kehilangan tempat tinggal ke kepolisian, Rabu (19/8/2020).
Imbas dari pengrusakan yang dilakukan oleh aparat, sebanyak 29 kepala keluarga kini terpaksa hidup beralaskan tikar dan beratap langit.
Insiden yang terjadi pada Selasa (18/8/2020) membuat anak-anak dan perempuan adat Besipae trauma.
Baca juga: Presiden Jokowi Diberi Nama Ama Rihi Jaka oleh Masyarakat Sabu Raijua, NTT
Namun Pemerintah Provinsi NTT berkukuh apa yang dilakukan oleh polisi adalah "efek kejut", sekaligus menegaskan lahan seluas 3.700 hektare itu akan dimanfaatkan sebagai lahan peternakan, perkebunan dan pariwisata demi kepentingan masyarakat adat.
Kekerasan yang dialami masyarakat adat yang mendiami hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini terjadi sehari setelah baju adat mereka dikenakan Presiden Joko Widodo dalam upacara peringatan kemerdekaan Indonesia ke-75, Senin lalu.
Baca juga: Cerita Mahasiswa Asal NTT Jadi Paskibra di KJRI Melbourne
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyebut di balik baju adat yang dikenakan presiden adalah "potret gelap" masyarakat adat yang tidak hanya dialami masyarakat adat Besipae, namun juga masyarakat adat di berbagai daerah.
Akan tetapi pemerintah pusat dan DPR menegaskan komitmennya terkait hak-hak masyarkat adat dan mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat -yang pembahasannya sudah lebih dari satu dekade.
Berikut yang perlu Anda ketahui tentang konflik lahan masyarakat adat Besipae.
Baca juga: Indahnya Timor Tengah Selatan di NTT, Ini 5 Wisata Rekomendasi
Bangunan rumah yang selama ini menjadi tempat pengungsian warga yang mempertahankan hutan adat mereka dirubuhkan. Perempuan dan anak-anak di lokasi mendapat intimidasi, baik verbal dan fisik oleh aparat.
Salah satu tokoh masyarakat Besipae, Nikodemus Manao menyebut banyak anak-anak dan perempuan merasa trauma, apalagi setelah tiga tembakan peringatan aparat meletus.
Baca juga: Julie Laiskodat, Sosok di Balik 2 Busana NTT yang Dikenakan Presiden Jokowi dalam Acara Kenegaraan
"Banyak yang trauma, khususnya anak-anak dan ibu-ibu karena dihadapkan dengan aparat Brimob dan tentara yang datang dengan senjata laras panjang," tutur Nikodemus kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/8/2020).
"Apalagi ketika mereka datang belum ada persiapan relokasi, masyarakat punya rumah itu digusur sehingga masyarakat sementara hidup di bawah pohon," ujarnya kemudian.
Kepada BBC Indonesia, Nikodemus mengaku bahwa rumahnya dirubuhkan pada Kamis (13/8/2020) silam ketika dirinya berada di Kupang. Barang berharga di rumahnya kini tak ada rimbanya.
Baca juga: Upacara Bendera, Jokowi Pakai Baju Adat Timor Tengah Selatan NTT
"Ketika saya lihat rumah saya digusur, saya merasa sedih dan saya pikir ini risiko perjuangan sudah seperti ini," ujarnya pelan.
Sejak Kamis pekan lalu hingga kini, Nikodemus beserta istri dan ketiga anaknya yang masih balita terpaksa tinggal di pekarangan dengan berlindung di bawah pohon bersama dengan anggota masyarakat adat lain yang rumahnya digusur.
"Sementara kami berlindung di bawah pohon, anak-anak kami juga tidak bisa diperhatikan karena untuk mandi anak sendiri tidak punya air, karena kami di sini jauh dari mata air," jelas Nikodemus.
"Ada 29 KK yang sama-sama tinggal di bawah pohon," katanya.
Baca juga: Perkembangan Proyek Bendungan Temef NTT Tembus 50 Persen
"Kalau malam mereka tidur di hamparan kosong," jelas Fadli.
"Menjadi kekhawatiran kami, beberapa warga yang tidur di hamparan kosong ini takutnya nanti sakit karena lingkungan di sini sangat tidak sehat, apalagi sampai tidur di luar, kan ada angin malam," imbuhnya kemudian.
Akan tetapi, Humas Pemerintah Provinsi NTT Marius Jelamu berkukuh bahwa apa yang dilakukan oleh kepolisian adalah "membuat efek kejut" bagi warga yang menolak direlokasi dan melakukan protes dengan berbagai macam cara.
Baca juga: Gubernur NTT Viktor Laiskodat: Pendidikan adalah Jalan Menemukan Tuhan
"Karena anak-anak dan perempuan-perempuan ini tidak mau bangun, selalu tidur di jalan dan menghalangi [perubuhan rumah] maka Brimob melakukan shock therapy," jelas Marius.
"Jadi sama sekali Brimob kita tidak melakukan kekerasan, sama sekali tidak. Itu shock therapy dengan menembak peluru kosong ke tanah untuk membuat efek kejut dengan bunyi itu," imbuhnya.
Sejak Februari silam, masyarakat adat yang tinggal di hutan adat Pubabu di Amnuban Selatan ini kerap mendapat intimidasi dan diskriminasi dari pihak berwenang, terkait lahan masyarakat adat yang diklaim oleh Pemerintah Provinsi NTT.
Menurut Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, pengrusakan rumah setidaknya sudah terjadi tiga kali, yakni pada Febuari, Maret dan Agustus.
Baca juga: Antropolog: Pakai Baju Adat Sabu Raijua, Respek Jokowi Terhadap Budaya NTT
Kuasa hukum masyarakat adat Besipae, Ahmad Bumi, mengungkapkan selain melaporkan pengrusakan rumah yang mereka alami, masyarakat adat akan menggugat pemerintah daerah terkait sengketa lahan.
"Hari ini [laporan kasus] pidananya soal pengrusakan dan penggelapan barang, kemudian disusul langkah hukum yang berikutnya kita gugat perdata soal lahannya," jelas Ahmad Bumi.
Menanggapi rencana gugatan masyarakat adat terkait sengketa lahan, Humas Pemprov NTT Marius Jelamu mengatakan gugatan itu hanya dilakukan oleh "segelintir orang yang mengklaim itu tanahnya".
"Kita justru senang kalau mereka proses itu secara hukum untuk nanti membuktikan ini lahan siapa, pemerintah atau mereka," tegas Marius.
Baca juga: Baju Adat NTT yang Dipakai Jokowi, Apa Makna dan Filosofinya?
Apa sengketa lahan di balik insiden penggusuran?
Sengketa hutan adat Pubabu yang meliputi Desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam diawali oleh keengganan masyarakarat adat Besipae untuk menyetujui tawaran perpanjangan izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan Pubabu.
Ahmad Bumi, kuasa hukum masyarakat adat Besipae menjelaskan konflik lahan bermula pada 1982 ketika pemerintah dan Australia bekerja sama dalam peternakan dan penggemukan sapi dengan meminjam lahan masyarakat adat
Setelah kontrak selesai, pengelolaan lahan itu semestinya dikembalikan ke masyarakat adat.
Baca juga: Sejarah dan Makna Ayam Ingkung, Makanan Sesaji dalam Adat Jawa
"Dalam perjalanan tidak tahu menahu ceritanya, tiba-tiba lahan itu sudah disertifikat hak pakai dan luasnya tidak tanggung-tanggung, 3.700 hektare," jelas Ahmad.
Nikodemus Manao, salah satu tokoh adat Besipae menjelaskan pada 1982, pemerintah Australia menghendaki 6.000 hektar lahan untuk peternakan sapi tersebut.
"Namun karena hutan adat Pubabu hanya seluas 2.671,4 hektare, maka tetua adat pada saat itu sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan masyarakat sehingga genap 6.000 hektar," jelas Nikodemus.
Namun, pada 1985 pemerintah provinsi menerbitkan sertifikat di hutan adat Pubabu yang meliputi Desa Linamnutu, Mio dan Oe Ekam.
Baca juga: 9 Pakaian Adat yang Ada pada Uang Baru Pecahan Rp 75.000
"Kita sertifikatkan tanah itu dan itu menjadi milik provinsi," jelasnya.
Pada 1987, selama 25 tahun ke depan, wilayah itu digunakan sebagai areal proyek peternakan sapi. Pada tahun 2010, dua tahun sebelum kontrak kadaluarsa, tawaran perpanjangan dari Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan ditolak warga.
Akan tetapi, pada 2012, pemerintah daerah kembali mengeluarkan serfitikat dengan luas 3.780 hektare, tanpa sepengetahuan masyarakat.
Baca juga: Mengenal Sina Beranti, Pakaian Pengantin Adat Suku Tidung di Uang Pecahan Rp 75.000
"Ini yang menjadi pertanyaan. Itu belukar masyarakat masuk semua, pekarangan masyarakat juga ada di dalam, bukan hanya hutan adat saja," jelas Nikodemus.
Pada 2012, masyarakat Besipae menentang keputusan untuk memperpanjang izin atas tanah. Mereka berpendapat bahwa hutan adat diperlukan untuk dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai kawasan konservasi - yang oleh warga lokal dikenal sebagai Nais Kio.
Aktivitas bertani dan berburu tidak diperbolehkan dalam Nais Kio.
Kendati ada perlawanan dari masyarakat adat untuk melindungi hutan adatnya, Gubernur NTT Viktor Laiskodat memutuskan untuk menjalankan rencananya mengembangkan kawasan itu sebagai area peternakan, perkebunan dan pariwisata.
Baca juga: Baju Adat Riau Ada di Uang Baru Rp 75.000, Gubernur Syamsuar: Surprise buat Kami
Pada Mei silam, gubernur mengunjungi Desa Mio di mana warga menyatakan penolakan mereka dengan melarangnya masuk ke wilayah adat dan memblokir jalan.
Pemblokiran jalan ini direspons dengan aksi kekerasan untuk membongkar jalan yang dilakukan oleh kepolisian.
Hal itu memicu aksi histeris dari para perempuan adat Besipae yang menanggalkan baju mereka sebagai simbol dukacita atas perampasan lahan hutan adat.
Sejak saat itu, rumah-rumah masyarakat adat yang menempati hutan adat lambat laun digusur, kerap kali dengan intimidasi.
Baca juga: Penjelasan Gambar Pakaian Adat di Uang Baru Edisi Khusus Kemerdekaan Rp 75.000
"Pemerintah harus segera menarik aparat keamanan yang masih berada di lokasi kejadian, segera membebaskan warga yang ditahan dan melakukan pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak yang trauma," jelas Rukka.
Lebih jauh lagi, penyerangan terhadap komunitas Besipae juga merupakan pelanggaran terhadap mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.
Baca juga: 75 Tahun Kemerdekaan RI, Masyarakat Adat Masih Berjuang untuk Kesetaraan
Hal ini diamini oleh Ahmad Bumi, kuasa hukum masyarakat adat Besipae yang menyebut semestinya pemerintah menghormati putusan MK tersebut, bukannya "mencaplok" hutan adat demi investasi.
"Hutan adat kan kekuatan hukumnya sudah ada melalui putusan MK itu, seharusnya semua pihak menghormati," kata dia.
"Tetapi hutan adat yang sudah ditetapkan sejak Indonesia belum merdeka dan dibawa secara turun temurun ini tiba-tiba dicaplok untuk investasi, seharusnya itu tidak boleh," ujar Ahmad.
Selain perlakuan intimidatif, lanjutnya, dua masyarakat adat Besipae, yakni Kornelius Numley (64) dan Anton Tanu (18) mendapat tindakan kriminalisasi dari aparat kepolisian setempat. Mereka ditangkap tanpa surat dan alasan yang jelas.
Salah satu di antaranya, Anton Tanu, sudah dibebaskan sementara hingga kini nasib Kornelius belum diketahui.
Baca juga: Masyarakat Adat Dayak Lundayeh Bentangkan Merah Putih di Ketinggian 1.103 Meter, Ini Tujuannya
"Tapi mereka tetap tidak mau. Sementara kemiskinan terbesar di Nusa Tenggara Timur itu ada di Pulau Timor ini tempat mereka melakukan aksi. Maka kami mau mengelola kawasan yang besar itu untuk pemberdayaan ekonomi," jelas Marius
Nikodemus Manao, anggota masyarakat adat Besipae menjelaskan bahwa saat ini telah ada empat rumah yang disediakan oleh pemerintah provinsi, kendati begitu warga enggan untuk menempatinya karena rumah itu dianggap tidak layak.
"Rumah yang sementara dibangun pemerintah provinsi itu Cuma empat unit rumah saja. Sementara masyarakat yang jadi korban penggusuran ada 29 KK," jelas Nikodemus.
Baca juga: Tolak Penggusuran Lahan Masyarakat Adat Pubabu, Ratusan Warga Demo di Kantor Gubernur NTT
"Dan rumah yang mereka bangun itu di belukar masyarakat yang lain, artinya mereka mengklaim itu milik pemerintah provinsi tetapi itu milik saudara-saudara kami," imbuhnya kemudian.
Dalam unggahan Instagramnya, Presiden Joko Widodo hanya menjelaskan terkait makna busana dan kain tenun yang dikenakannya tanpa menyinggung konflik lahan yang dialami masyarakat adat Besipae.
Rukka Sombolinggi dari AMAN menyebut apa yang terjadi sebagai "ironis" dan "mencederai kemerdekaan".
"Di balik baju adat itu ternyata ada potret gelap masyarakat adat yang ada di sana dan ini tidak hanya terjadi di sana tapi di hampir seluruh wilayah Indonesia."
"Masyarakat adat masih mengalami kekerasan," ujar Rukka.
"Ini kan hal-hal yang saya sebut cedera janji kemerdekaan karena ternyata hampir delapan dekade, 75 tahun Indonesia merdeka, tapi masyarakat adat belum merdeka," jelasnya kemudian.
Baca juga: Nasib Masyarakat Adat yang Terancam Investasi Hingga Kriminalisasi...
Padahal, RUU ini sangat fundamental untuk perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.
RUU ini kembali masuk agenda prioritas prolegnas setelah dua kali sebelumnya gagal ketuk palu dalam dua periode masa kerja DPR sebelumnya.
Rukka menjelaskan, meski masuk prolegnas DPR, namun dia menyatakan bahwa RUU ini "tidak sungguh-sungguh menjadi prioritas pemerintah dan DPR".
Baca juga: Akan Digusur dan Merasa Diintimidasi, Masyarakat Adat Pubabu Trauma
"Meskipun dibicarakan, drafnya pun bermasalah. Ini artinya DPR dan pemerintah menutup mata dengan realitas," tegas Rukka.
Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menegaskan bahwa pemerintah pusat berkomitmen penuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat dan mendorong DPR segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat.
"Saya kira ini sangat bergantung pada dinamika politik di DPR. Pemerintah sebagai eksekutif mendorong agar DPR segera bisa menyelesaikan itu," kata dia.
"Bola politiknya ada di DPR dan pemerintah hanya bisa mendorong supaya bisa segera selesai," lanjut Donny.
Baca juga: Banyak Kriminalisasi Masyarakat Adat dengan Tuduhan Pembakaran Hutan
"Tentu di dalam pembahasan ada namanya skala prioritas. Hari ini kita di Baleg sedang fokus membahas tentang [rancangan] undang-undang Cipta Kerja," ujar Guspardi.
"Dalam waktu dekat akan dilakukan pembahasan tentang [RUU] Masyarakat Adat," lanjutnya tanpa menjelaskan lebih lanjut kapan pembahasan akan dilakukan.
Baca juga: Masyarakat Adat Rejang Luncurkan Buku Pengetahuan Pengobatan
Akan tetapi, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi berpendapat pengesahan RUU Cipta Kerja yang dia sebut berpihak pada pengusaha, justru akan menjadi "senjata pamungkas" perampasan wilayah adat sehingga aksi serupa yang dialami oleh masyarakat Besipae akan semakin sering terjadi.
"Ini akan menjadi senjata pamungkas untuk memastikan perampasan awilayah adat, memastikan tanah-tanah petani terancam digusur diberikan kepada perusahaan dan buruh-buruh hanya akan menjadi budak," cetus Rukka.
"Ini akan menimbulkan krisis bagi bangsa jika Omnibus Law disahkan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.