SOE, KOMPAS.com - Ratusan masyarakat adat yang mendiami kawasan hutan adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), trauma karena merasa diintimidasi oleh Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi NTT.
Sekitar 25 kepala keluarga yang sudah lama menempati wilayah itu, hendak digusur oleh Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi NTT, pada Selasa (17/10/2017) lalu.
Ketua Dewan Adat Pubabu-Besipae, Benyamin Selan mengatakan, rombongan Polisi Pamong Praja, polisi Polda NTT, Dinas Peternakan NTT UPT Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, membawa surat dengan nomor BU030/105/BPPKAD/2017 tertanggal 17 Oktober 2017, yang isinya masyarakat harus mengosongkan lahan yang diklaim milik pemerintah Provinsi NTT.
Menurut Benyamin, dalam Sertifikat Hak Pakai nomor :00001/2013-BP,794953, tanggal 19 Maret 2013 yang ditunjukan pihak Sat Pol PP, tertulis luas tanah 37.800 meter persegi tersebut adalah aset tanah Pemerintah Propinsi NTT.
Baca juga: Upaya Petani di NTT agar Tidak Menjadi TKI ke Luar Negeri
Berdasarkan isi surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah NTT Benediktus Polo Maing, menyebutkan bahwa tanah instalasi Pubabu-Besipae merupakan tanah milik Pemerintah Propinsi NTT yang tercatat pada Daftar Barang Milik Daerah Propinsi NTT dan Daftar Barang Pengguna pada Dinas Peternakan Propinsi NTT.
"Karena itu mereka meminta perhatian masyarakat untuk menghentikan segala aktivitas di atas tanah instalasi Besipae milik pemerintah Provinsi NTT dan segera membongkar sendiri bangunan yang telah dibangun terhitung mulai tanggal 18 sampai dengan 24 Oktober 2017," kata Benyamin kepada Kompas.com, Jumat (20/10/2017).
Selain menunjukan surat itu, sebut dia, Sat Pol PP mendatangi beberapa masyarakat adat dan memaksa warga untuk menandatangani surat pernyataan pengosongan lahan. "Kedatangan Sat Pol PP yang memaksa dan mengintimidasi empat orang warga untuk tanda tangan surat pengosongan lahan, membuat warga ketakutan dan trauma," sebut Benyamin.
Warga akhirnya sepakat untuk tidak menandatangani surat itu. "Rasa kekhawatiran, kecemasan, dan keamanan terhadap kehidupan masyarakat adat Pubabu sangat terganggu karena dengan alasan kapan saja pemerintah secara sepihak bisa melakukan penertiban terhadap tanah dan akan kehilangan lahan yang selama ini dikelola oleh masyarakat adat Pubabu," katanya.
Benyamin menyebutkan, daerah tersebut adalah tanah adat berdekatan dengan hutan adat Pubabu. Menurut dia, tahun 1982, Pemerintah Australia mengontrak tanah itu untuk kepentingan penggemukan sapi. Kontrak pun berakhir pada tahun 1987.
Kemudian lanjut Benyamin, kontrak dilanjutkan oleh Pemerintah Provinsi NTT dalam hal ini Dinas Peternakan Provinsi NTT. Kontrak itu pun berakhir hingga tahun 2010.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.