Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasar Cihapit Jadi Tongkrongan Anak Muda Gaul di Bandung, Dulunya Kamp Tawanan Jepang

Kompas.com - 07/08/2020, 08:42 WIB
Reni Susanti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Tongkrongan kekinian

Uniknya, di antara deretan kios dan jongko tersebut terdapat kedai kopi dan teh yang kekinian. Terutama dari sisi desain interior dan kelengkapan kedai sangat kekinian.

Tak heran jika banyak anak muda yang nongkrong di sana. Ada yang mengobrol, sekadar ngopi, atau mengerjakan tugas dan berselancar lewat laptopnya.

“Tempatnya cozy, nyaman, cocok untuk nongkrong dan bekerja,” ujar Saleh (28) kepada Kompas.com.

Kondisi ini memperlihatkan interaksi yang unik di Pasar Cihapit. Anak muda yang biasanya ogah-ogahan ke pasar tradisional, di sini mengobrol dengan para pedagang sayur.

Ada kalanya anak muda ini membeli jajanan tradisional di pasar. Begitupun ibu-ibu atau bapak-bapak yang jarang ngopi, bisa merasakan sensasi kafe kekinian di pasar.

Kondisi Cihapit yang beragam dan menyenangkan sebenarnya sudah diciptakan sejak zaman Belanda.

Reza Ramadhan Kurniawan dari Komunitas Aleut mengatakan, Belanda membangun daerah Cihapit dengan suatu konsep lingkungan yang sehat, kompleks perumahan dilengkapi dengan pasar, pertokoan, taman dan lapangan terbuka.

Bahkan pada 1920-an komplek perumahan Cihapit mendapatkan predikat contoh lingkungan pemukiman sehat di Kota Bandung.

Daerah tersebut dulu dihuni warga golongan menengah baik pribumi maupun Belanda. Beberapa sisa bangunan lama masih dapat disaksikan di Jalan Sabang.

Kamp tawanan

Namun pada masa kedudukan Jepang, Cihapit memasuki masa kelamnya. Menurut beberapa literasi, dulu kawasan Cihapit dijadikan Kamp Interniran atau tawanan atau kampung penjara.

Batasnya adalah pagar anyaman bambu dan kawat berduri dengan beberapa penjaga.

Penjagaan tidak hanya dilakukan tentara Jepang, tetapi oleh tentara Indonesia yang saat itu tergabung dalam Heiho.

Reza mengatakan, saat dibuka pada 17 November 1942, penghuni Kamp Interniran Cihapit sekitar 14.000 orang. Dengan jumlah sebanyak itu, mereka tinggal berhimpitan. Ada kalanya satu rumah kecil, dihuni 20 orang.

Kamp tawanan pada masa penjajahan Jepang dipisahkan ke dalam tiga kelompok, untuk anak-anak dan wanita, pria remaja, dan pria dewasa.

Para tahanan Kamp Cihapit mendapat dua kali kebaikan hati kaisar, yaitu diperbolehkan mengirimkan kartu pos kepada suami dan anak di kamp lainya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com