Salin Artikel

Pasar Cihapit Jadi Tongkrongan Anak Muda Gaul di Bandung, Dulunya Kamp Tawanan Jepang

Makanya tak heran, pasar yang terus berbenah menjadi lebih bersih dan nyaman ini kerap menjadi ajang nostalgia.

Bagi orang yang sudah berumur, menyusuri Pasar Cihapit adalah menapaki kenangan. Namun bagi anak muda, Pasar Cihapit merupakan bentuk interaksi kekinian anak muda yang unik.

Mak Eha

Salah satu kenangan yang paling populer di Pasar Cihapit adalah Warung Nasi Mak Eha. Warung yang berada di ujung deretan kios ini sudah ada sejak zaman kemerdekaan.

Uniknya, suasana di warung ini nyaris tak berubah. Di salah satu dinding terlihat foto Presiden Soekarno dan sejumlah pahlawan nasional. Di dinding lainnya terdapat berbagai perabotan zaman dulu.

Melihat ke bagian tengah terlihat deretan makanan di atas meja. Ada jengkol, tempe, ikan, daging ayam, gepuk, dan lainnya yang tersaji di meja.

Bedanya, kini Mak Eha yang sudah menginjak usia 89 tahun hanya duduk di bagian kasir. Ia bisa menghitung dengan cepat, berapa makanan yang harus dibayar.

Di bagian luar yang berada di lorong terlihat kursi panjang berhadapan dan meja berjejer. Kursi-kursi ini selalu tak bisa menampung para pembeli.

“Dulu, Bu Hartini (istri Soekarno) suka belanja ke sini. Anak-anaknya Soekarno kaya Guntur dan Guruh sampai sekarang kadang kesini,” ungkap Mak Eha kepada Kompas.com, bulan lalu.

Mereka datang ke sini untuk bernostalgia. Katanya, kangen masakan Mak Eha yang selalu menjadi andalan sejak masa kuliah.

Surga makanan

Selain Mak Eha, Pasar Cihapit terkenal dengan berbagai makanan legendaris yang tak kalah lezat. Bagi pecinta kuliner, Pasar Cihapit adalah surga.

Ada beberapa makanan yang ternama di sana seperti surabi, lotek, batagor, cuanki serayu, dan lainnya.

Karena itu, datanglah ke Pasar Cihapit saat perut kosong agar pengunjung bisa mencicipi berbagai jenis makanan di sini.

Setidaknya itulah yang dirasakan almarhum Bondan Winarno. Selain Warung Mak Eha, Bondan kesengsem dengan berbagai makanan di Pasar Cihapit.

Tak hanya itu, yang terkenal dari Cihapit adalah toko buku dan barang-barang bekas. Itulah mengapa banyak kolektor yang sengaja datang kesini untuk berburu.

Tongkrongan kekinian

Uniknya, di antara deretan kios dan jongko tersebut terdapat kedai kopi dan teh yang kekinian. Terutama dari sisi desain interior dan kelengkapan kedai sangat kekinian.

Tak heran jika banyak anak muda yang nongkrong di sana. Ada yang mengobrol, sekadar ngopi, atau mengerjakan tugas dan berselancar lewat laptopnya.

“Tempatnya cozy, nyaman, cocok untuk nongkrong dan bekerja,” ujar Saleh (28) kepada Kompas.com.

Kondisi ini memperlihatkan interaksi yang unik di Pasar Cihapit. Anak muda yang biasanya ogah-ogahan ke pasar tradisional, di sini mengobrol dengan para pedagang sayur.

Ada kalanya anak muda ini membeli jajanan tradisional di pasar. Begitupun ibu-ibu atau bapak-bapak yang jarang ngopi, bisa merasakan sensasi kafe kekinian di pasar.

Kondisi Cihapit yang beragam dan menyenangkan sebenarnya sudah diciptakan sejak zaman Belanda.

Reza Ramadhan Kurniawan dari Komunitas Aleut mengatakan, Belanda membangun daerah Cihapit dengan suatu konsep lingkungan yang sehat, kompleks perumahan dilengkapi dengan pasar, pertokoan, taman dan lapangan terbuka.

Bahkan pada 1920-an komplek perumahan Cihapit mendapatkan predikat contoh lingkungan pemukiman sehat di Kota Bandung.

Daerah tersebut dulu dihuni warga golongan menengah baik pribumi maupun Belanda. Beberapa sisa bangunan lama masih dapat disaksikan di Jalan Sabang.

Kamp tawanan

Namun pada masa kedudukan Jepang, Cihapit memasuki masa kelamnya. Menurut beberapa literasi, dulu kawasan Cihapit dijadikan Kamp Interniran atau tawanan atau kampung penjara.

Batasnya adalah pagar anyaman bambu dan kawat berduri dengan beberapa penjaga.

Penjagaan tidak hanya dilakukan tentara Jepang, tetapi oleh tentara Indonesia yang saat itu tergabung dalam Heiho.

Reza mengatakan, saat dibuka pada 17 November 1942, penghuni Kamp Interniran Cihapit sekitar 14.000 orang. Dengan jumlah sebanyak itu, mereka tinggal berhimpitan. Ada kalanya satu rumah kecil, dihuni 20 orang.

Kamp tawanan pada masa penjajahan Jepang dipisahkan ke dalam tiga kelompok, untuk anak-anak dan wanita, pria remaja, dan pria dewasa.

Para tahanan Kamp Cihapit mendapat dua kali kebaikan hati kaisar, yaitu diperbolehkan mengirimkan kartu pos kepada suami dan anak di kamp lainya.

Surat yang di dituliskan tidak lebih dari 25 kata, tidak boleh dituliskan tanggal dan ditulis dalam bahasa Indonesia.

Selain itu surat itu tidak boleh berisi berita mengenai nama kamp, nama penyakit, menurunnya berat badan dan berita negatif lainya.

Berita yang diperbolehkan untuk di ceritakan dalam kartu pos adalah berita baik dan menggembirakan saja.

Namun hal ini pun tidak mudah karena sulitnya alat tulis, pena, kartu pos dan waktu penulisan yang terbatas, menjadikan kesulitan tersendiri.

Dalam kamp tersebut tercatat 243 korban meninggal. Kamp ini ditutup pada Desember 1944 dengan jumlah tawanan sebanyak 10.000 orang.

“Mereka dipindahkan ke berbagai kamp di Jakarta, Bogor, dan Jawa Tengah,” tutup Reza.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/07/08423491/pasar-cihapit-jadi-tongkrongan-anak-muda-gaul-di-bandung-dulunya-kamp

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke