Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seumuleung Tradisi Menyuapi Sang Raja Baru di Aceh, Digelar Sejak 500 Tahun yang Lalu

Kompas.com - 04/08/2020, 10:40 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sebuah tradisi berusia lima ratus tahun yang melibatkan raja Aceh berlangsung dengan sederhana di tengah keprihatinan pandemi Covid-19.

Tradisi bernama Seumuleung ini dipercaya dapat membawa keberkahan rezeki dan kesehatan untuk tahun mendatang.

Tradisi yang disebut sudah ada sejak tahun 1480 masehi digelar pada hari raya Idul Adha, simbol peneguhan atau penabalan raja.

Baca juga: Idul Adha, Tradisi Meugang dan Semangat Berbagi Sekolah Fatih Aceh

Peneliti tradisi Budaya Kerajaan Negeri Daya Aceh, Teuku Minjar Nurlizai, menilai selama lima abad tidak ada perubahan makna dari tradisi yang menjadi identitas wilayah mempertahankan kejayaan masa lalu tersebut.

"Ini sebagai identitas, di mana tradisi yang telah berlangsung lima abad masih dapat dilaksanakan mereka yang memegang amanah. Ini bisa menjadi modal Aceh sebagai salah satu tempat di Indonesia yang masih menjaga kelestarian budaya," katanya.

Jurnalis BBC Indonesia menempuh perjalanan menuju lokasi tradisi di Kabupaten Aceh Jaya selama dua jam perjalanan darat. Lokasi upacara berjarak 80 kilometer dari ibu kota Aceh, Banda Aceh.

Baca juga: 6 Tradisi Unik Perayaan Idul Adha di Indonesia

Para pedagang berjajar-jajar di bawah tenda warna-warni mereka menjajakan berbagai cendera mata.BBC Indonesia/Hidayatullah Para pedagang berjajar-jajar di bawah tenda warna-warni mereka menjajakan berbagai cendera mata.
Melewati tiga pegunungan yang membelah kedua wilayah dengan kondisi jalan bergelombang dan tikungan-tikungan patah.

Hamparan tenda warna-warni pedagang seketika mencolok mata di lokasi tradisi akan berlangsung yakni di cekungan bibir Pantai Kuala Daya, Lamno, Aceh Jaya yang berbentuk U.

Lokasi upacara di dekat kompleks makam Sultan Alaiddin Riayat Syah, sultan Aceh ke-10 yang berkuasa di abad ke-16.

Para pedagang berjajar-jajar di bawah tenda warna-warni mereka menjajakan berbagai cendera mata. Dari tahun ke tahun mereka mendulang rejeki setiap kali tradisi Seumuleung digelar.

Baca juga: Pandemi Covid-19, Tradisi Abdau dan Karnaval Budaya di Desa Tulehu Ditiadakan

Biasanya mereka berjualan sejak hari Idul Adha sampai tujuh hari setelahnya.

Biasanya pula, masyarakat memadati lokasi, bahkan hingga ke tepi pantai, hingga kendaraan tak diperbolehkan melintas.

Namun, situasi tahun ini berbeda.

Zahara, seorang pedagang, menceritakannya.

"Di sini yang diutamakan untuk berjualan adalah warga Desa Lamno. Saya jualan sudah beberapa tahun, sebelumnya menggunakan payung kecil, kalau cuacanya gak mendung bisa dapat Rp1 juta sampai Rp1 ,2 juta omzet per hari, kalau biasanya jualan di pasar Rp 800.000 per hari," jelas Zahara.

"Kalau bukan Covid-19 sampai ke air-air dan bantaran batu pemecah ombak sudah penuh tenda," katanya.

Baca juga: Tradisi Rasulan di Gunungkidul, Bertahan meski Sepi karena Pandemi

Tradisi menyuapi dalam menobatkan raja

Seumuleung bermakna menyuapi, karena dalam puncak upacara raja baru, pewaris estafet kepemimpinan, akan disuapi nasi dan lauknya oleh tetua upacara adat.Hidayatullah/BBC Indonesia Seumuleung bermakna menyuapi, karena dalam puncak upacara raja baru, pewaris estafet kepemimpinan, akan disuapi nasi dan lauknya oleh tetua upacara adat.
Tradisi Seumuleung merupakan upacara khusus yang dulu dilakukan Sultan Inayat Syah untuk menobatkan anaknya sebagai Sultan Kerajaan Daya pada tahun 1480 M, yang jatuh pada hari Idul Adha.

Pada tahun-tahun sebelumnya tradisi dilaksanakan di sebuah gedung permanen bak istana raja masa lalu yang dicat warna putih, lengkap dengan lima kubah ukuran berbeda-beda, dengan mengundang para keturunan raja dari seluruh Aceh, juga pemerintah daerah.

Seumuleung bermakna menyuapi, karena dalam puncak upacara raja baru, pewaris estafet kepemimpinan, akan disuapi nasi dan lauknya oleh tetua upacara adat.

Ini merupakan simbol dari pemberian selamat pada raja yang baru.

Baca juga: Jenazah Sultan Kesepuhan Cirebon Dimakamkan Sesuai Tradisi Keraton

Masyarakat ikut memadati lokasi, tidak saja untuk menonton, tapi juga ikut memperebutkan sisa nasi suapan raja.

Rangkaian adat menyuapi dan rebutan nasi suapan ini sekaligus bermakna menyatunya raja dengan rakyat.

Dipercaya pula memakan nasi suapan sisa raja akan membawa berkah.

Baca juga: Tradisi Pacaran Orang Rimba, 2.000 Hari Mengabdi di Calon Mertua, Pegang Tangan Pacar Kena Denda

Upacara dimulai

Hening menyelimuti ketika Raja Saifullah, keturunan Sulthan Alaiddin Riayat Syah, sampai di tempat upacara adat, siang itu.

Puluhan hulubalang lalu berzikir dan bersalawat mengiringi langkah sang Raja memasuki balai acara.

Jumlah peserta di dalam balai acara tidak lebih dari 23 orang, itu pun sudah mencakup para undangan.

Sangat berbeda dengan gelaran tradisi Seumuleung tahun-tahun sebelumnya yang meriah dengan ratusan orang, termasuk perwakilan pejabat pemerintahan daerah dan keturunan raja kerajaan lainnya di Aceh.

Baca juga: Perkawinan Sedarah di Kerinci, Antara Tradisi dan Pemicu Bayi Stunting

Raja Saifullah mengikuti prosesi Seumuleung.BBC Indonesia/Hidayatullah Raja Saifullah mengikuti prosesi Seumuleung.
Kali ini bahkan tidak satu pun di antara para hulubalang, termasuk Raja Saifullah, yang menggunakan pakaian kerajaan pendahulunya.

Raja hanya mengenakan kemeja berwarna kuning dan penutup kepala bermotif Aceh.

Tahun ini, upacara adat cukup digelar di sebuah balai kayu di ujung sebelah timur gedung putih yang biasanya jadi tempat penyelenggaraan tradisi.

Menjelang puncak upacara penyuapan raja, dua tudung kuning dan satu tudung biru yang berisikan makanan beserta dengan lauknya yang berasal dari darat maupun laut, dibuka.

Lalu tetua upacara adat menyuapi raja sebanyak satu kali.

Baca juga: Beleuto, Tradisi Lama Gorontalo yang Dikenalkan pada Era New Normal

Warga yang semula tertib menunggu di bawah, seketika memenuhi balai tempat acara.

Beberapa orang di antaranya sembari menggendong bayi.

Tujuannya hanya untuk dua hal. Pertama mendapatkan sisa nasi dari hasil suapan yang diyakini membawa rezeki, kedua menuggu giliran dililitkan kain putih di kepala yang diyakini memberikan kesehatan.

Seorang pengunjung yang rela datang dari Kota Banda Aceh, Marlina, mengatakan niatnya datang ialah untuk melepaskan nazar, karena sering mengalami sakit pada bagian kepala.

Ia ingin sembuh dengan mengikuti tradisi setelah melihat tetangganya sembuh usai bernazar yang sama.

Baca juga: Uniknya Tradisi Minum Kopi Pahit Colol di Manggarai Timur

"Sering sakit kepala, jadi hajatnya (nazar) ke sini makanya dililitin kain putih tadi, ada orang kampung yang bilang cobalah bernazar ke Poe Teumurhom gitu, ya udah kami bernazar ke sini tahu-tahunya sembuh, makanya balik lagi ke sini," kata Marlina.

Marlina, menjelaskan bahwa ia datang ditemani anggota keluarganya. Mereka berangkat sejak pagi dan baru tiba pada siang hari.

Mereka menanti dililitkan kain putih dari tetua keturunan raja saja, setelah itu mereka pulang ke Banda Aceh.

"Langsung pulang, nanti ziarah ajak keluarga dulu, kalau ke atas iya ke atas, kalau tidak, langsung pulang, karena pulangnya jauh kali ke Banda Aceh, jadi lama kali sampai ke sana," jelas Marlina.

Baca juga: Mengapa Ada Tradisi Hidang atau Prasmanan Mini di Restoran Padang?

'Berkah rejeki dan kesehatan'

Masyarakat ikut memadati lokasi, tidak saja untuk menonton, tapi juga ikut memperebutkan sisa nasi suapan raja.Hidayatullah/BBC Indonesia Masyarakat ikut memadati lokasi, tidak saja untuk menonton, tapi juga ikut memperebutkan sisa nasi suapan raja.
Usai upacara dan tradisi Seumuleung, sang Raja yang menggunakan kemeja kuning berlengan panjang, lengkap dengan topi bermotif Aceh turun dari balai acara, ditemani dua orang lainnya yang mengapit, di tangannya tertenteng sebilah pedang bersarung.

Perlahan ketiganya berjalan menaiki anak tangga untuk berziarah ke komplek makam Sulthan Alaiddin Riayat Syah.

Di komplek makam yang berada di atas bukit, sehelai bendera berwarna merah yang mulai memudar terlukis bulan dan pedang.

Bendera inilah yang dulunya digunakan dalam masa kejayaan Kesultanan Aceh yang terkenal se-Asia Tenggara karena keberhasilan dalam memerangi musuh-musuhnya.

Baca juga: Melestarikan Tradisi Lewat Bisnis Susu Kuda Liar Khas Bima

Raja Saifullah, membasuh muka dan mencuci kepala dengan air, ketika hendak memasuki area makam untuk berdoa. Setiap pelayat yang hendak masuk ke dalam area makam pun diharuskan untuk berwudu.

Dalam kompleks ini terdapat 10 makam, setiap batu nisan dari makam tersebut diikat dengan kain putih, sementara tanah sudah ditutupi dengan batu koral putih.

Di area makam ini banyak pelayat sengaja membawa bayi mereka untuk dimandikan karena air tersebut dipercaya bisa memberi kesehatan.

Baca juga: Lebak Batal Laksanakan Tradisi Seba Baduy

Warga Aceh Jaya, Fajri, mengatakan sudah beberapa kali datang ke tempat ini ketika lebaran Idul Adha untuk berziarah ke makam.

Selain itu, melepas nazar anak karena sakit dan ingin memandikannya dengan air kuali tanah di tempat ziarah.

"Sudah menjadi dan tradisi kepercayaan warga di sini untuk dimandikan, tergantung juga dengan nazar masing - masing warga di sini. Kalau saya, ibunya yang bernazar ingin anak sembuh dengan dimandikan di tempat Poteu Meureuhom," kata Fajri.

Menanggapi kepercayaan masyarakat tersebut, Raja Saifullah mengatakan, "Sebenarnya kalau kita memaknai ini sungguh sakral acara Seumuleung karena kepercayaan masyarakat Daya (Aceh Jaya), nasi sisa dari yang disuapkan kepada saya akan direbut oleh pengunjung karena keparcayaan mendapatkan rezeki dan kesehatan."

Baca juga: Lebaran Ketupat, Tradisi Masyarakat Jawa

Raja Aceh pada masa kini

BBC Indonesia/Teuku Minjar NurlizaiHidayatullah/BBC Indonesia BBC Indonesia/Teuku Minjar Nurlizai
Raja Saifullah dilantik pada tahun 2005 bersama dengan seluruh anggota yang terlibat dalam upacara adat tersebut.

Di antara mereka adalah yang terlibat secara turun-temurun bertugas dalam upacara adat sebagai dayang-dayang, menyuapi raja, dan beberapa orang lainnya dengan tugas masing- masing.

"Pada tahun 2005 kami semua membenahi kembali peninggalan, di samping kanan saya generasi bapak saya Tengku Jubir yang bertanggung jawab turun temurun menyuapi raja, di sebelah kiri juga generasi bapak saya Tengku Zainun, beliau turun-temurun diwajibkan menjadi pendingin atau pengipas para raja," jelas Raja Saifullah.

Dalam keseharian, mereka bekerja layaknya warga Aceh lainnya.

Baca juga: Walau Pandemi, Tradisi Meriam Karbit di Pidie Tetap Digelar dan Dihadiri Ratusan Orang

Rata-rata berprofesi sebagai nelayan, petani, dan peternak.

Sedangkan Raja Saifullah sempat memiliki usaha rental mobil serta pelatihan mengemudi dan kini menjadi kontraktor.

Hubungan raja dengan pemerintahan daerah biasanya tercermin pula dalam kehadiran perwakilan Pemprov dalam acara adat.

"Agenda upacara adat tahun-tahun lalu kita lihat lebih meriah, jadi kenapa sekarang tidak meriah, karena kita mengingat peraturan pemerintah juga menghindari dari musibah Covid-19 yang melanda seluruh dunia," jelas Saifullah.

Baca juga: Warga Desa yang Tetap Lakukan Tradisi Berbagi Gula Didenda Rp 200.000, Ini Alasannya

Di penghujung, Saifullah mengatakan biasanya mereka mendapatkan bantuan dana sebesar Rp 150 juta dari pemerintah setempat, sehingga bisa mengundang seluruh keturunan raja di Aceh.

"Tahun ini tidak ada support anggaran dari pemerintah, karena sudah digunakan untuk penanganan Covid-19, tapi marilah kita gerakkan upacara adat ini termasuk menjadi ikon wisata dan menjadi tonggak hidupnya ekonomi Aceh," tutup Saifullah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com