JAMBI, KOMPAS.com - Sebelum menikahi wanita pujaan hati, lelaki rimba harus mengabdi selama 2.000 hari.
Hal itu untuk membuktikan ketulusan dan kepandaian dalam mencari makan, berburu dan meramu.
Perempuan rimba menempati posisi tinggi dalam peradahan Orang Rimba. Seorang dukun atau malim adalah wanita. Garis keturunan berada pada perempuan.
Bahkan untuk mengukuhkan tumenggung atau pemimpin Orang Rimba dalam struktur masyarakat mereka, juga dilakukan oleh perempuan.
Kutipan lirik lagu, Bukan Bintang Biasa (BBB) "putus satu tumbuh seribu, putus nyambung, putus nyambung, putus nyambung, kalau dekat benci kalau jauh kangen" hanya berlaku pada anak milenial. Tetapi tidak bagi remaja rimba.
Baca juga: Perkawinan Sedarah di Kerinci, Antara Tradisi dan Pemicu Bayi Stunting
Dalam masa pacaran, Orang Rimba mengenal istilah Bekintangon. Yakni tradisi seorang lelaki mengabdi kepada perempuan (pujaan hati) dan keluarganya selama bertahun-tahun. Sekali putus, tidak bisa kembali nyambung.
Tiga bulan lalu, Kompas.com naik motor bersama Betuah (19) pada jalan berlubang dekat Desa Air Panas, di kaki Bukit Duabelas, Kabupaten Sarolangun, Jambi, anak muda Rimba itu tiba-tiba berhenti, dan menatap serombongan Orang Rimba yang lewat.
Tampak ada tiga orang anak kecil dan dua orang dewasa. Tapi Betuah menatap semak dalam-dalam. Rupanya dalam semak itu ada Bepawal.
"Aku tidak melihat semak Bang. Jangan bilang aku gila. Aku melihat Bepawal. Orang Rimba remaja, harus bersembunyi kalau ketemu orang asing," kata Betuah kepada Kompas.com dengan tatapan kosong.
Sepanjang jalan menuju rumah H Jaelani atau Tumenggung Tarib di Desa Paku Aji, Betuah bercerita suka duka dalam menjalankan tradisi Bekintangon, di keluarga Bepawal (18) yang doyan tinggal di kebun sawit.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan