Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Lagu Yamko Rambe Yamko: Bukan Lagu Milik Orang Papua?

Kompas.com - 05/07/2020, 10:20 WIB
Rachmawati

Editor

'Bukan lagu milik orang Papua'

Perdebatan tentang asal-usul lagu Yamko Rambe Yamko mencuat setelah unggahan akun Twitter @PapuaItuKita tentangnya banyak diperbincangkan di dunia maya pada akhir Juni lalu.

Dalam unggahan pada Jumat (26/6/2020), akun itu menyebut lagu yang identik dengan Papua, tak hanya di kancah nasional, tapi juga internasional itu "dipaksa" sebagai lagu Papua padahal "orang Papua tidak tahu dan tidak mengakui itu sebagai lagu daerah".

Sejak saat itu, diskusi tentang asal-usul lagu ini terus bergulir, hingga kini.

Simon Patric Morin adalah salah satu warga Papua yang meyakini bahwa lagu itu bukanlah berasal dari Papua.

Baca juga: Lirik dan Chord Lagu Daerah Yamko Rambe Yamko

Sebagai warga asli Papua, sejak kecil dia tak pernah mendengar lagu itu dalam kehidupan sehari-harinya.

Hingga pada suatu saat, rombongan kesenian dari Jakarta yang datang ke Biak.

Di sebuah aula sekolah menengah, mereka menyanyikan lagu itu di hadapan warga Papua, termasuk dirinya yang merupakan siswa sekolah tersebut.

Itulah kali pertama dia diperkenalkan dengan lagu tersebut.

Dalam ingatan Simon, rombongan itu antara lain terdiri dari penyanyi Rita Zahara, Kris Biantoro, serta Soerjono, atau biasa dikenal sebagai Pak Kasur.

Baca juga: Tompi Kenang Glenn Fredly Saat Nyanyikan Lagu Daerah

Di Papua ada sekitar 250 bahasa Papua, kata Simon ADEK BERRY/AFP via Getty Images Di Papua ada sekitar 250 bahasa Papua, kata Simon
Pak Kasur dikenal sebagai tokoh pendidikan Indonesia dan pencipta lagu anak-anak.

"Waktu itu tanggal 1 Mei penyerahan Irian Barat kepada Indonesia oleh badan pemerintahan sementara PBB yang namanya UNTEA. Jadi boleh kita katakan itu sekitar tahun 1963," tutur Simon.

Lebih jauh pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPR sejak 1992 - 2009 ini menuturkan setelah penyerahan Papua ke Indonesia, banyak rombongan kesenian yang dikirim ke Papua untuk "membuat suasana jadi rileks sesudah konfrontasi Belanda Indonesia".

Sejak saat itu, lagu itu disematkan sebagai bagian dari identitas Papua.

Baca juga: Cerita Syarif, Tersesat di Hutan Papua, Makan Buah Biji Anggrek untuk Bertahan

Meski demikian, banyak orang — termasuk warga Papua sendiri — bertanya-tanya makna dari lirik lagu tersebut.

Keragaman bahasa di Papua, menjadi alasan di balik kebingungan akan makna lirik lagu ini.

"Di Papua ada sekitar 250 bahasa Papua," kata Simon.

"Bahasa-bahasa di Papua itu baru diinventarisasi dan didokumentasi oleh suatu badan yang namanya Summer Institute of Linguistics sekitar dekade 80-an, sehingga bahasa lokal tidak banyak yang menguasai," jelasnya.

Baca juga: Detik-detik Pemburu Tersesat di Hutan Papua Ditemukan, Dengar Namanya Dipanggil

Oleh sebab itu, Mambesak, kelompok musik dari Papua yang mendokumentasikan lagu rakyat di Papua, tak pernah memasukkannya ke dalam dokumentasi mereka.

"Karena mereka verifikasi, apakah bahasa orang Sentani, atau bahasa Biak, atau bahasa dari Asmat, jadi ada semacam inventarisasi, ada semacam dokumentasi tentang penutur bahasa itu sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Yamko Rambe Yamko tidak ada," jelas Simon.

Mambesak adalah kelompok musik pertama di Papua yang dibentuk pada 1978 dan diketuai oleh Arnold Ap, budayawan, antropolog dan kurator museum Universitas Cendrawasih.

Baca juga: Potret Ketimpangan Pembangunan di Papua, Beras 10 Kg Seharga Rp 2 Juta

Setidaknya mereka telah merilis empat volume berisi lagu daerah Papua, disertai asal daerah, bahasa yang digunakan, dan arti lagu tersebut.

Studi dan pementasan budaya musik Mambesak kala itu dipandang oleh banyak pihak sebagai tantangan terhadap tudingan bahwa pemerintah Indonesia berupaya menggerus identitas Papua.

Proses dokumentasi mereka terhenti ketika pada 1983 pihak keamanan Indonesia mulai memantau kegiatan mereka yang berujung pada penangkapan dan penahanan Arnold Ap.

Baca juga: Sempat Kabari Tak Tahu Jalan Pulang, Syarif Tersesat Saat Berburu di Hutan Papua

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com