Salin Artikel

Menyoal Lagu Yamko Rambe Yamko: Bukan Lagu Milik Orang Papua?

Etnomusikolog menyebut lagu ini sebagai bagian dari diplomasi musik yang dilakukan pemerintah di masa lalu dan menekankan perlunya pelurusan sejarah terkait asal-usul lagu yang samar.

Tokoh Papua, Simon Patric Moran, mengklaim dirinya sebagai saksi sejarah ketika lagu itu pertama kali diperkenalkan oleh warga Papua di Biak pada 1963, ketika Papua — yang kala itu bernama Irian Barat — baru saja diserahkan oleh UNTEA, lembaga PBB yang memediasi penyerahan Papua dari Belanda, ke Indonesia.

Dia menyebut lagu itu hanya serangkaian kata tanpa makna.

Sementara, Ketua Dewan Kesenian Tanah Papua, Nomensen Mambraku, memastikan tak ada satupun suku di Papua yang mengakui lagu itu sebagai bahasa mereka, merujuk pada penelitian yang dilakukan badan tersebut.

Menurutnya ada kemungkinan lagu itu merupakan modifikasi lagu berbahasa Afrika.

BBC News Indonesia melakukan penelusuran asal-usul lagu tersebut hingga Afrika.

Meski sejumlah kata dalam lagu itu diakui bagian dari bahasa Swahili, wartawan BBC Swahili, Caroline Karobia, memastikan bahwa lagu itu bukanlah berbahasa Swahili.

Bahasa Swahili adalan bahasa yang digunakan oleh lebih dari 100 juta orang di setidaknya 12 negara di Afrika bagian tengah dan timur.

Menindaklanjuti temuan ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tengah melakukan penelusuran dan pengkajian untuk mengklarifikasi asal-usul lagu Yamko Rambe Yamko.

Dalam unggahan pada Jumat (26/6/2020), akun itu menyebut lagu yang identik dengan Papua, tak hanya di kancah nasional, tapi juga internasional itu "dipaksa" sebagai lagu Papua padahal "orang Papua tidak tahu dan tidak mengakui itu sebagai lagu daerah".

Sejak saat itu, diskusi tentang asal-usul lagu ini terus bergulir, hingga kini.

Simon Patric Morin adalah salah satu warga Papua yang meyakini bahwa lagu itu bukanlah berasal dari Papua.

Sebagai warga asli Papua, sejak kecil dia tak pernah mendengar lagu itu dalam kehidupan sehari-harinya.

Hingga pada suatu saat, rombongan kesenian dari Jakarta yang datang ke Biak.

Di sebuah aula sekolah menengah, mereka menyanyikan lagu itu di hadapan warga Papua, termasuk dirinya yang merupakan siswa sekolah tersebut.

Itulah kali pertama dia diperkenalkan dengan lagu tersebut.

Dalam ingatan Simon, rombongan itu antara lain terdiri dari penyanyi Rita Zahara, Kris Biantoro, serta Soerjono, atau biasa dikenal sebagai Pak Kasur.

"Waktu itu tanggal 1 Mei penyerahan Irian Barat kepada Indonesia oleh badan pemerintahan sementara PBB yang namanya UNTEA. Jadi boleh kita katakan itu sekitar tahun 1963," tutur Simon.

Lebih jauh pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPR sejak 1992 - 2009 ini menuturkan setelah penyerahan Papua ke Indonesia, banyak rombongan kesenian yang dikirim ke Papua untuk "membuat suasana jadi rileks sesudah konfrontasi Belanda Indonesia".

Sejak saat itu, lagu itu disematkan sebagai bagian dari identitas Papua.

Meski demikian, banyak orang — termasuk warga Papua sendiri — bertanya-tanya makna dari lirik lagu tersebut.

Keragaman bahasa di Papua, menjadi alasan di balik kebingungan akan makna lirik lagu ini.

"Di Papua ada sekitar 250 bahasa Papua," kata Simon.

"Bahasa-bahasa di Papua itu baru diinventarisasi dan didokumentasi oleh suatu badan yang namanya Summer Institute of Linguistics sekitar dekade 80-an, sehingga bahasa lokal tidak banyak yang menguasai," jelasnya.

Oleh sebab itu, Mambesak, kelompok musik dari Papua yang mendokumentasikan lagu rakyat di Papua, tak pernah memasukkannya ke dalam dokumentasi mereka.

"Karena mereka verifikasi, apakah bahasa orang Sentani, atau bahasa Biak, atau bahasa dari Asmat, jadi ada semacam inventarisasi, ada semacam dokumentasi tentang penutur bahasa itu sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Yamko Rambe Yamko tidak ada," jelas Simon.

Mambesak adalah kelompok musik pertama di Papua yang dibentuk pada 1978 dan diketuai oleh Arnold Ap, budayawan, antropolog dan kurator museum Universitas Cendrawasih.

Setidaknya mereka telah merilis empat volume berisi lagu daerah Papua, disertai asal daerah, bahasa yang digunakan, dan arti lagu tersebut.

Studi dan pementasan budaya musik Mambesak kala itu dipandang oleh banyak pihak sebagai tantangan terhadap tudingan bahwa pemerintah Indonesia berupaya menggerus identitas Papua.

Proses dokumentasi mereka terhenti ketika pada 1983 pihak keamanan Indonesia mulai memantau kegiatan mereka yang berujung pada penangkapan dan penahanan Arnold Ap.

Dia menambahkan, sebagian besar bahasa Papua lebih banyak huruf mati, "tidak seperti untaian kata-kata" dalam lagu itu.

Simon menambahkan ada teori bahwa kemungkinan lagu ini jiplakan dari lagu Afrika.

Teori ini diperkuat oleh Nomensen Mambraku, Ketua Dewan Kesenian Papua yang pada 1990an--ketika Nomensen menjabat sebagai wakil ketua dewan kesenian Papua--membentuk tim yang terdiri dari sejumlah seniman Papua untuk menelusuri sejarah lagu tersebut.

"Kesimpulan kita, setelah didiskusikan, kami tidak menemukan lagu itu sebagai lagu milik orang Papua," kata dia.

Dalam penelitian tersebut, didapat fakta bahwa lagu tersebut pertama kali dinyanyikan oleh Corry Rumbino seorang penyanyi Papua yang melantunkan lagu itu di istana saat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, pada awal 1960-an.

"Ternyata lagu itu lagu yang dimodifikasi dari Afrika dan Corry Rumbino yang melantunkan lagu itu pertama di Indonesia dan kemudian dipopulerkan di Papua," jelas Nomensen.

"Tapi sesungguhnya ketika kita telusuri, lagu itu bukan dari Papua, bukan bahasa Papua," tegasnya.

Platform itu mendeteksinya sebagai bahasa Swahili, bahasa yang digunakan oleh negara-negara di Afrika Timur dan Tengah.

Yamko Rambe Yamko dimaknai sebagai selamat datang selalu dalam bahasa Swahili.

Meski demikian hipotesis ini dianggap tidak valid karena hanya berlandaskan platform penerjemah bahasa.

BBC News Indonesia lantas berupaya untuk mengkonfirmasinya kepada wartawan BBC Swahili, Caroline Karobia.

"Saya telah memeriksa liriknya, ada sejumlah kata dari bahasa Swahili tapi [lagu] itu bukan bahasa Swahili," ujar Caroline.

Wartawan BBC yang bertugas di ibu kota Kenya, Nairobi, Omega Rakotomalala, menyebut lirik lagu itu juga bukan berbahasa Malagasi.

"Saya telah memeriksa liriknya dan secara pasti dapat mengatakan bahwa itu bukan bahasa Malagasi karena alfabet kami tidak memiliki huruf 'U' atau 'W'," ujarnya.

"Ada kesamaan dengan bahasa Komoro, tetapi tidak," tambahnya kemudian.

Bahasa Malagasi adalah cabang bahasa Austronesia yang dituturkan oleh orang Madagaskar.

Sementara Komoro merupakan kepulauan di timur Afrika yang terletak di Samudra Hindia.

Dalam daftar lagu daerah — yang menjadi salah satu parameter mengenal ragam budaya di Indonesia — Yamko Rambe Yamko diklaim sebagai lagu daerah Papua.

Bahkan, lagu ini sering dibawakan oleh kelompok paduan suara dalam kompetisi internasional.

Etnomusikolog dan peneliti musik, Resa Seto Hadiwijoyo, menganggap itu sebagai "masalah besar".

"Jangan-jangan selama ini kita membiarkan identitas itu menjadi representasi mereka justru karena itu konstruksi sosial yang dibangun oleh orang-orang yang bukan berasal dari Papua, kemudian itu menjadi identitas mereka," jelas Seto.

"Kalau misalnya seperti itu, ada masalah besar bahwa ternyata identitas teman-teman Papua, representasi orang-orang Papua ini, kemudian bukan dari teman-teman Papua sendiri, tapi oleh orang-orang di luar masyarakat Papua," imbuhnya kemudian.

Seto yang meneliti tentang diplomasi musik ketika studi di School of Asian and African Studies (SOAS), University of London, Inggris, mengungkapkan musik kerap digunakan sebagai alat diplomasi oleh pemerintah di masa lalu.


Apa yang terjadi pada lagu Yamko Rambe Yamko, menurut Seto, berkaitan dengan "adanya framing yang dibangun pemerintah, yang kemudian itu disematkan sebagai representasi masyarakat Papua.

Kendati begitu, dia menegaskan hal itu perlu dikaji lebih jauh dari sisi sejarah. Sebab, mengutip apa dituturkan oleh tokoh Papua, Simon Patric Morin, lagu ini dibawa oleh seniman Jakarta yang pada waktu itu datang ke Biak untuk menghibur orang-orang Papua pada awal 1960an.

Apalagi, tak ada satu pun suku di Papua yang mengklaim lagu itu sebagai lagu mereka.

"Ini kan berarti ada yang aneh dan menurut saya ada hal yang harus diluruskan. Kalau memang benar itu bukan bahasa Papua dan tidak merepresentasi orang Papua, maka kita harus siap bahwa ketika orang Papua meminta simbol representasi itu kemudian diubah," ungkap Seto.

Akan tetapi, Agastya Rama Listya, etnomusikolog sekaligus dosen program studi seni musik di Universitas Kristen Satya Wacana, tak sependapat.

Agastya menyebut "pencarian asal-usul bukan sesuatu yang esensial", jika komunitas etnis Papua sudah menganggap lagu tersebut sebagai representasi di tingkat nasional maupun internasional, maka "itu bukan suatu masalah".

"Kalau komunitas Papua akan melakukan diskusi menerima atau tidak menerima, atau mengubah, atau mungkin mempertahankan melodinya dan mengubah dengan teks baru. Menurut saya yang paling relevan menjawab adalah etnis Papua sendiri," jelas Agastya.

Dia menyarankan, jika komunitas Papua menolak lagu ini sebagai lagu daerahnya, maka yang semestinya dilakukan kemudian ada menghapus segala klaim bahwa lagu ini lagu daerah Papua dari buku teks dan materi pembelajaran yang selama ini beredar.

"Seni untuk seni," tegasnya.

"Soal sejumlah seniman Papua mengklaim lagu itu bukan lagu orang Papua, saya setuju. Tetapi dia [lagu Yamko Rambe Yamko] sudah memberikan warna bahwa di seluruh Indonesia orang menyanyikan lagu itu dengan jiwa dan napas orang Papua, meskipun lagunya bukan dari Papua," ujar Nomensen.

"Dari aspek kultur, lagu itu harus diakui bahwa dia mewakili nilai-nilai dan aspek dasar kehidupan seni dan budaya orang Papua, karena memang lagu itu dibesarkan di tanah Papua," jelasnya kemudian.

Hal serupa juga terjadi pada seni budaya yang lain. Dia mencontohkan tari Gale-Gale kini identik dengan budaya Papua, padahal tarian itu berasal dari Maluku Utara.

"Seni tidak perlu dipolitisir. Biarkan seniman pada lahannya dan politik pada lahannya sendiri-sendiri," kata dia.

Senada, tokoh Papua, Simon Patric Moran, pun tak menganggap lagu Yamko Rambe Yamko "secara paksa" disematkan sebagai identitas Papua, meski bukan berasal dari Papua.

Namun begitu, dia menegaskan bahwa budayawan Papua perlu mengklarifikasi asal-usul lagu ini.

"Secara positif saya melihat, niat Pak Kasur itu hanya untuk membawa kegembiraan. Sehingga saya menganggap itu sekedar diciptakan dari serangkaian kata-kata."

"Saya kira budayawan perlu klarifikasi tentang hal ini karena lagu pernah dibawa ke forum internasional," ujar Simon.

Sejumlah kelompok paduan suara kerap membawakan lagu Yamko Rambe Yamko yang diaransemen oleh Agustinus Bambang Jusana dalam kompetisi paduan suara internasional.

Paduan suara anak Indonesia, The Resonanz Children's choir meraih gelar juara ketika melantunkan lagu ini di sebuah kompetisi yang digelar di Venesia, Italia, pada 2016.

Tahun lalu, lagu ini juga dibawakan oleh paduan suara Telkom University Choir ketika meraih kemenangan dalam kompetisi di Taipei, Taiwan.

Bahkan, kelompok paduan suara dari negara lain juga kerap membawakan lagu Yamko Rambe Yamko, yang mereka anggap sebagai lagu dari Papua.

Etnomusikolog, Agastya Rama Listya, yang juga kerap mengaransemen lagu untuk paduan paduan suara, menyebut bahwa "dunia paduan suara tak ambil pusing dengan latar belakang lagu yang dinyanyikan".

"Dan itu kan sudah dinyanyikan oleh paduan suara dari luar. Jadi kalau kita bilang 'Lagu ini kami tarik karena bukan lagu Papua', sebenarnya kita justru mempermalukan diri," jelasnya.

Namun begitu, Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ahmad Mahendra, mengungkapkan pemerintah tengah melakukan penelusuran dan pengkajian resmi terkait asal-usul lagu ini.

"Sementara ini sedang ditelusuri dan dikaji oleh unit pelaksana teknis Ditjen Kebudayaan, yakni Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua," ujar Mahendra.

Hasil penelusuran ini, nantinya dijadikan dasar untuk mengklarifikasi asal-usul lagu Yamko Rambe Yamko yang selama puluhan tahun disematkan sebagai bagian dari identitas Papua.

https://regional.kompas.com/read/2020/07/05/10200001/menyoal-lagu-yamko-rambe-yamko--bukan-lagu-milik-orang-papua-

Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke