Dalam komentar unggahan yang kemudian viral, seorang pengguna Twitter menunjukkan ketika dirinya menerjemahkan lirik lagu itu menggunakan Google Translate.
Platform itu mendeteksinya sebagai bahasa Swahili, bahasa yang digunakan oleh negara-negara di Afrika Timur dan Tengah.
Yamko Rambe Yamko dimaknai sebagai selamat datang selalu dalam bahasa Swahili.
Meski demikian hipotesis ini dianggap tidak valid karena hanya berlandaskan platform penerjemah bahasa.
BBC News Indonesia lantas berupaya untuk mengkonfirmasinya kepada wartawan BBC Swahili, Caroline Karobia.
Baca juga: Papua Waspada Corona Gelombang Kedua dan Stigma Penyakit Kutukan Tuhan
"Saya telah memeriksa liriknya, ada sejumlah kata dari bahasa Swahili tapi [lagu] itu bukan bahasa Swahili," ujar Caroline.
Wartawan BBC yang bertugas di ibu kota Kenya, Nairobi, Omega Rakotomalala, menyebut lirik lagu itu juga bukan berbahasa Malagasi.
"Saya telah memeriksa liriknya dan secara pasti dapat mengatakan bahwa itu bukan bahasa Malagasi karena alfabet kami tidak memiliki huruf 'U' atau 'W'," ujarnya.
"Ada kesamaan dengan bahasa Komoro, tetapi tidak," tambahnya kemudian.
Bahasa Malagasi adalah cabang bahasa Austronesia yang dituturkan oleh orang Madagaskar.
Sementara Komoro merupakan kepulauan di timur Afrika yang terletak di Samudra Hindia.
Baca juga: 96 Personel Brimob Polda Gorontalo Dikirim ke Puncak Jaya Papua
Dalam daftar lagu daerah — yang menjadi salah satu parameter mengenal ragam budaya di Indonesia — Yamko Rambe Yamko diklaim sebagai lagu daerah Papua.
Bahkan, lagu ini sering dibawakan oleh kelompok paduan suara dalam kompetisi internasional.
Etnomusikolog dan peneliti musik, Resa Seto Hadiwijoyo, menganggap itu sebagai "masalah besar".
Baca juga: Kasus Pertama Covid-19 di Lanny Jaya Papua
"Jangan-jangan selama ini kita membiarkan identitas itu menjadi representasi mereka justru karena itu konstruksi sosial yang dibangun oleh orang-orang yang bukan berasal dari Papua, kemudian itu menjadi identitas mereka," jelas Seto.
"Kalau misalnya seperti itu, ada masalah besar bahwa ternyata identitas teman-teman Papua, representasi orang-orang Papua ini, kemudian bukan dari teman-teman Papua sendiri, tapi oleh orang-orang di luar masyarakat Papua," imbuhnya kemudian.
Seto yang meneliti tentang diplomasi musik ketika studi di School of Asian and African Studies (SOAS), University of London, Inggris, mengungkapkan musik kerap digunakan sebagai alat diplomasi oleh pemerintah di masa lalu.
Baca juga: Yenny Wahid: Jarang Sekali Kita Lihat Orang Papua Direpresentasikan dalam Iklan di TV