Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/04/2020, 09:25 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Wabah virus corona di dunia khususnya Indonesia memukul berbagai aspek kehidupan, di antaranya ekonomi.

Perusahaan tidak bisa beroperasi maksimal, perumahan karyawan, peningkatan pengangguran, angka kemiskinan meningkat, dan yang cukup menghantui adalah ketahanan pangan di masa krisis.

Bagi masyarakat Sunda, ketahanan pangan menjadi hal yang krusial. Itulah mengapa, setiap rumah di masa lalu memiliki leuit atau lumbung padi untuk menyimpan hasil panen.

Persediaan ini akan sangat berguna saat paceklik atau terjadi wabah seperti sekarang. Bagi masyarakat tidak mampu, orang Sunda mengenal budaya beas perelek.

Baca juga: Hadapi Corona, Ganjar Minta Desa Hidupkan Lagi Tradisi Jimpitan untuk Lumbung Pangan

Budayawan asal Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengatakan, beas perelek merupakan bagian budaya Sunda yang harus dijaga dan dilestarikan. Ini juga merupakan bukti kepedulian kepada sesama.

"Beas perelek itu spirit kasih sayangnya orang sunda. Tradisi itu terbangun dalam dunia pertanian secara sistemik tanpa masuk dalam formalisme berbentuk aturan," ujar Dedi saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.

Seperti saat orang Sunda akan menanam padi. Biasanya mereka menggelar selamatan tanpa berpikir akan panen, untung atau tidak. Begitu juga ketika panen dan padi masuk leuit, orang Sunda melakukan selamatan lagi.

"Padi yang baru akan masuk leuit. Untuk dikonsumsi, orang Sunda akan mengambil padi yang sudah lebih lama di dalam leuit," tuturnya.

Baca juga: Cerita Pengantin di NTB Batalkan Tradisi Nyongkolan, Tetap Patuh meski Resepsi Jadi Sepi

Sisihkan segenggam beras tiap menanak nasi

Ketika memasak nasi, orang Sunda harus mengingat orang lain. Itulah alasan mereka menyisihkan segenggam beras setiap menanak nasi. Genggaman beras tersebut disimpan dalam ruas bambu yang ada di depan rumah.

Beras yang ada dalam ruas bambu di tiap rumah itu nantinya akan dikumpulkan. Setelah terkumpul, beras digunakan untuk menyelesaikan kekurangan pangan di masyarakat. Inilah yang disebut beas perelek.

"Beras ini akan diberikan pada orang miskin, orang tua yang tidak memiliki penghasilan. Intinya untuk memenuhi pangan di daerah tersebut," paparnya.

Namun, bagi daerah yang berkecukupan, beras tersebut bisa dijual untuk keperluan kampung. Misalnya membeli kursi, katel, wajan, seeng, untuk keperluan dapur umum ketika ada acara kampung ataupun datang musibah.

Baca juga: Tokoh Adat Babel Desak Pemerintah Batalkan Tradisi Budaya Jelang Ramadhan dan Idul Fitri

Warisan nenek moyang warga Sunda

Antropolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Nanet Prihatini Ambaretnani, mengatakan beas perelek adalah warisan budaya nenek moyang masyarakat Sunda dari generasi ke generasi.

Menurut dia, beas perelek merupakan indigenous knowledge atau kearifan lokal untuk mengembangkan social capital bagi orang-orang yang membutuhkan, misalnya orang sakit, orang meninggal, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

"Jadi, masuk dalam prinsip gotong-royong. Diadopsi lagi pada masa sekarang untuk kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya.

Baca juga: Kekeringan, Warga Kediri Gelar Shalat Istisqo hingga Sedekah Dawet

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com