KOMPAS.com - Revitalisasi Kota Tua Semarang mampu menghidupkan kawasan yang dulu nyaris terlantar sehingga kini dibanjiri pelancong. Namun, revitalisasi ini dikritik lantaran dianggap kurang menghargai keautentikan sejarah.
Langit di atas Kota Tua Semarang perlahan-lahan berubah dari lembayung menjadi kehitaman, tetapi Ema masih terlihat asyik berswafoto di depan Gereja Blenduk.
Di depan bangunan yang didirikan pada 1753, dan salah-satu ikon penting Semarang, ibu paruh baya itu tak begitu mempedulikan ratusan orang yang lalu lalang di sekitarnya - dan langit yang makin gelap.
Baca juga: 19 Tahun Hidup di Dunia Malam Lokalisasi Sunan Kuning: Saya Sudah Betah di Sini...
Ema dan rekan-rekannya tidak sendirian. Di sekelilingnya, serombongan anak muda pun bergaya dan berfoto bersama di depan gereja tersebut. Ini juga terlihat di depan sejumlah bangunan cagar budaya dan tua lainnya di kawasan itu.
"Wah, bagus banget!" Ema terlihat bersemangat ketika dimintai komentarnya tentang wajah Kota Tua Semarang yang sedang direvitalisasi. "Nyaman buat jalan-jalan, rapi."
Sekitar 10 tahun atau 20 tahun silam, pemandangan seperti itu jarang terlihat di kawasan gereja Blenduk dan sudut-sudut lainnya. Saat beranjak malam, kala itu, orang-orang kemungkinan berpikir ulang untuk mengunjungi kawasan kota tua.
Baca juga: Mengenal Sunan Kuning Penyebar Agama Islam di Semarang, Makamnya Ada di Komplek Lokalisasi
"Dan, aman," tambahnya. Pada akhir pekan, bersama keluarganya, Dian menjual minuman jeruk peras di depan rumahnya. "Kami senang, tentu saja..."
Kesaksian Ema dan Dian Ariesyana ini, tentu saja, tidak terlepas dari tangan dingin Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, yang sejak dua tahun lalu, menggenjot pembangunan fisik di kawasan itu, dengan guyuran dana sekitar Rp160 miliar dari pemerintah pusat.
Sempat tersendat pada awalnya, proyek ambisius Hendi - panggilan akrabnya - mampu merevitalisasi sekitar 80% dari 116 bangunan cagar budaya dan memugar infrastruktur pendukungnya hingga September 2019 lalu. Tahun ini, revitalisasi memasuki tahap kedua.
Baca juga: Sejarah Lokalisasi Sunan Kuning yang Ditutup Pemkot Semarang, Diresmikan Tahun 1966 oleh Wali Kota
Namun demikian, upaya penyelamatan gedung-gedung tua di Semarang, yang sebagian masuk kategori dilindungi, dihadapkan pada masalah klasik, yaitu dana.
Ada ikhtiar merawat bangunan kuno yang berhasil, tetapi sebagian lagi dibiarkan terlantar dan bahkan dirobohkan. Bahkan dilaporkan ada pemilik bangunan menginginkan agar miliknya tidak termasuk yang harus dilindungi, sehingga bisa dijual.
Sekitar empat atau lima tahun silam, masyarakat peduli sejarah di Semarang dikejutkan robohnya bangunan tua di Jalan Kepodang, yang diduga bekas kantor redaksi surat kabar De Locomotief (terbit pertama kali pada 1851) dan dikenal sebagai pendukung politik Etis.
Kemarahan masyarakat pencinta sejarah di kota itu juga meledak ketika Pasar Peterongan, yang dibangun pada 1916, dibongkar, ketika perdebatan perdebatan ihwal nilai sejarah dan peruntukannya dianggap belum tuntas.
Baca juga: Semangat Literasi dalam Pasar Buku Keliling Nusantara di Semarang
Tetapi ada kisah yang menyenangkan ketika gedung bekas kantor Sarekat Islam di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Semarang, direnovasi. Semula gedung bersejarah ini kondisinya menyedihkan, namun sejak awal 2014, gedung ini dijadikan cagar budaya dan dipugar.
Keberadaan bangunan cagar budaya Sobokartti, yang semenjak 1992 telah ditetapkan sebagai bangunan bersejarah yang harus dilindungi, dianggap sebagai pelestarian yang berhasil karena bangunan itu 'tetap hidup' lantaran ada aktivitas kesenian di dalamnya - hingga kini.
Toh, pekerjaan rumah untuk menyelamatkan semua bangunan tua bersejarah yang sebagian masuk kategori cagar budaya, serta kawasan Kota Tua Semarang secara menyeluruh, bukanlah seperti membalik tangan.
Baca juga: Festival Kuliner Pedas Semarang, Bakso Gurita Jadi Menu Favorit
Setahun kemudian, sebagai langkah awal, dia memperbaiki salah-satu persoalan terbesar, yaitu rob dan banjir di kawasan kota lama, dengan memperbaiki sistem drainase perkotaan Kali Semarang.
Lainnya? "Kami terus memprovokasi para pemilik gedung (yang masuk kategori cagar budaya) untuk bersama-sama menjadikan Kota Lama sebagai ikon Semarang," kata Hendi, empat tahun silam.
Baca juga: Belanja di Pasar Peterongan Semarang, Bayarnya Bisa Pakai QR Code
Pelibatan pemilik gedung, memang, menjadi sangat penting, karena keberadaan gedung-gedung itu merupakan daya tarik kawasan itu. Masalahnya, dari 245 bangunan di kawasan itu, 177 dan 68 bangunan merupakan milik perorangan dan swasta.
Sudah menjadi rahasia umum, tidak semua pemilik bangunan mau merogoh kocek untuk merestorasi bangunan miliknya, karena memang tidak murah. Itulah sebabnya, mereka justru ingin gedungnya tidak termasuk yang dilindungi, sehingga mereka bisa menjualnya.
Pemerintah Kota Semarang sampai turun tangan dengan memberikan keringanan 50% Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada pemilik gedung lama yang mau memperbaiki dan merawatnya.
Baca juga: Cerita di Balik Jeruji Lapas Kedungpane Semarang
"Itu salah-satu insentif bagaimana kita untuk merevitalisasi kawasan kota lama," kata Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu seperti dilansir dari BBC Indonesia.
Mereka juga menawarkan investor baru untuk mengelola gedung apabila mereka tidak mampu melestarikannya. "Kalau mereka tidak mau mampu, kita akan carikan investor," ujarnya.
Demi merangsang kesadaran para pemilik gedung tua, Pemkot Semarang bahkan membeli salah-satu gedung cagar budaya bernama Oudetrap di dekat Gereja Blenduk, dan disulap menjadi gedung serbaguna.
Baca juga: Angka Kehamilan Berisiko Tinggi, Pemkab Semarang Siagakan Bidan dan Rumah Tunggu Kelahiran
Kucuran dana dari APBD Jawa Tengah dan, apalagi, Kota Semarang, dianggap tidak cukup untuk membiayai proyek ambisius meremajakan kawasan tersebut.
"Ada anggaran Rp5 miliar, tapi itu hanya cukup untuk pembangunan satu ruas jalan. Lah, kapan selesainya," kata Hevearita.
Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) akhirnya menggelontorkan total anggaran Rp183 miliar untuk merevitalisasi kawasan tersebut pada 2017.
Baca juga: Ingin Baca Puisi di Depan Presiden, Penyair Ini Jalan Kaki dari Semarang ke Jakarta