Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Revitalisasi Kota Tua Semarang, Guyuran Rp 160 Miliar hingga Dianggap Tak Sesuai Kaidah Konservasi

Kompas.com - 12/12/2019, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

Yang terjadi, keberadaan bangunan kalah oleh kehadiran lampu-lampu jalan.

Kehadiran lampu-lampu jalan di kota lama Semarang mirip dengan lampu-lampu jalan di era Victoria di Inggris, tambahnya.

"Semua ada sejarah, lah kita kok tiba-tiba muncul di kota lama, dari mana? Itu ada sejarahnya."

Baca juga: Menelusuri Jejak Lokalisasi Sunan Kuning yang Ditutup dan Nasib Para Pekerja Seks


'Warna mencolok tidak sesuai kaidah konservasi'

Lebih lanjut, Rukardi menganggap pemugaran beberapa gedung cagar budaya tidak sesuai nilai-nilai yang disyaratkan dalam konservasi.

''Salah satu contoh, yang sekarang menjadi rumah makan Pring Sewu," kata Rukardi. Bangunan ini pernah terbakar dan bangunan dalamnya sudah hancur, walau bangunan depan dan atapnya masih terlihat.

Namun demikian, setelah diperbaiki, bangunan yang semula asimetris, terutama bagian atapnya, itu menjadi simetris. "Saya punya dokumentasinya," akunya.

"Apakah ini yang dimaksud konservasi seperti ini? Tentu saja tidak, karena pengertian konservasi itu mengembalikan sesuai aslinya," papar Rukardi.

Baca juga: Lokalisasi Sunan Kuning Tutup, Jaminan Praktik Prostitusi Punah?

Dia kemudian mencontohkan lainnya, yang disebutnya sebagai "cermin ketidaktegasan dari BP2L maupun pemkot Semarang" dalam menegaskkan aturan "yang saat ini masih berlaku."

"Yaitu Perda RTBL tahun 2003 tentang kota lama," katanya. Salah-satu pasal dalam perda itu menyebutkan soal warna cat bangunan cagar budaya.

"Itu sudah ditentukan warna-warnanya, yaitu warna-warna pastel, soft," akunya. Namun fakta yang terjadi, lanjutnya, beberapa bangunan dibiarkan dengan cat warma-warni.

"Kayak Musium Tiga Dimensi DMZ, itu kan warna-warni. Kemudian kalau kita lihat interiornya, sudah sama-sekali hilang bentuk aslinya," katanya.

Padahal, menurutnya, itu adalah gedung yang sangat penting.

"Itu bekas salah-satu percetakan swasta pertama di Hindia Belanda," katanya. "Itu salah-satu yang terbesar."

Baca juga: Warga Lokalisasi Sunan Kuning Kecewa Uang yang Dijanjikan Pemkot Semarang Tak Kunjung Diberikan

 

Tanggapan Pemkot Semarang atas kritikan pegiat sejarah?

Gedung NV Kian Gwan pada 2015 sebelum dipugar dan difungsikan sebagai restoran Pringsewu di kawasan Kota Tua Semarang.BBC News Indonesia/Nonie Arnee Gedung NV Kian Gwan pada 2015 sebelum dipugar dan difungsikan sebagai restoran Pringsewu di kawasan Kota Tua Semarang.
Dimintai tanggapan atas anggapan ini, Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan: "Kalau perencanaan itu, ada pada pemerintah pusat, karena uangnya dari pusat."

Namun diakuinya ada diskusi antara pemkot Semarang dan Kementerian PUPR, misalnya, tentang disainnya. "Kalau ada hal-hal yang memang perlu didiskusikan, pemkot juga ikut terlibat," ujarnya.

"Pak Wali Kota juga memberikan masukan-masukan sebelum dibangun," akunya. Dia memberikan contoh pihaknya memberikan masukan tentang kehadiran pembatas antara trotoar dan jalan raya.

Baca juga: Pemkot Semarang Dukung Pembangunan Tanggul Laut Semarang

Hevearita juga mengaku selama ini pihaknya terbuka menerima masukan dari siapapun terkait proyek revitalisasi itu. "Kita juga sudah mengakomodir dan melakukan sosialisasi pada awalnya."

"Pasti setiap pembangunan tidak akan memuaskan semua pihak," katanya. "Kalau kita nanti yang enggak senang sedikit daripada yang banyak, lebih baik mendengarkan yang banyak."

Diakui oleh Rukadi, bagi orang awam kebanyakan, perubahan Kota Tua Semarang "sangat mencolok dan keren kalau difoto pas senja dan diunggah di Instagram".

''Tapi kalau dari sisi konservasi, kalau menurut teman-teman, itu merupakan proses beautifikasi, terlalu banyak pupurnya," kata Rukardi menekankan.

Seharusnya upaya revitalisasi itu bisa menghargai keautentikan sejarah, kata Rukadi.

Baca juga: Suami Chaca Frederica Daftar Calon Wakil Bupati Semarang


Mengapa kawasan Kota Tua Semarang dianggap mirip Dufan atau Disneyland?

Inilah salah-satu sudut di Jalan Kepodang di kawasan Kota Tua Semarang pada September 2019 setelah direvitalisasi. BBC News Indonesia/Nonie Arnee Inilah salah-satu sudut di Jalan Kepodang di kawasan Kota Tua Semarang pada September 2019 setelah direvitalisasi.
Sementara, pegiat kota lama Semarang, Tjahjono Rahardjo mempertanyakan motivasi pemerintah dalam merestorasi kawasan kota tua Semarang.

"Kota lama Semarang ini mau dibawah kemana? Mau dibawa ke warisan budaya dunia seperti yang selalu didengung-dengungkan atau menjadi daerah tujuan wisata," ujarnya, setengah bertanya.

Menurut, dua hal itu merupakan dua hal yang berbeda. "Kalau berniat menjadikannya sebagai warisan budaya dunia UNESCO, seharusnya tidak ada kata-kata 'turisme'."

Baca juga: Bus yang Angkut Ratusan Mahasiswa Semarang Menuju Jakarta Dicegat Polisi, Ini Penjelasannya

"Karena kebingungan itu, yang terjadi seperti sekarang ini. Kota lama ini menjadi seperti Dufan atau Disneyland, padahal itu tidak yang diminta oleh UNESCO," katanya.

Dikatakan status World Heritage ini, menurutnya, adalah komitmen. "Kalau sudah ditetapkan sebagai World Heritage, kita harus komit untuk menjaga otensitasnya, keaslian bangunannya," katanya.

Untungnya, lanjutnya, bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang, relatif tidak banyak berubah.

"Jadi pelestarian bangunan (di kawasan Kota Tua Semarang), masih dalam koridor," akunya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com