"Penataan dilakukan agar kawasan lebih tertata, nyaman dan bisa menjadi tujuan wisata," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono saat meninjau pengerjaan penataan kawasan Kota Lama Semarang, akhir Maret 2019 lalu.
Basuki juga meminta agar penyelesaian proyek itu tetap memperhatikan kebersihan kota dan berhati-hati "agar tidak merusak situs budaya yang ada di Kota Lama".
"Ini merupakan pekerjaan seni, sehingga perlu diperhatikan detil dan kerapihannya," ujarnya.
Baca juga: Anak SMAN 15 Semarang Bikin Masker Anti Mabuk, Ini Cara Kerjanya
Revitalisasi kawasan ini meliputi penataan prasarana dan sarana seperti utilitas saluran PDAM, kabel telpon, serta listrik, kata Basuki.
Kementerian PUPR juga memberikan fasilitas tambahan, diantaranya tempat duduk panjang, tempat sampah, lampu penerangan jalan utama dan trotoar.
Dalam rangkaian ini, pemerintah pusat juga melakukan perbaikan jalan, drainase, halte, hingga dua kolam retensi Berok dan Bubakan yang akan dipompa dan dialirkan menuju kali Semarang.
Baca juga: Siap-siap, Sebentar Lagi Semarang Akan Miliki Trem
"Sampai September 2019, tahap pertama revitalisasi sudah dinyatakan berakhir, dan ada sekitar 116 bangunan cagar budaya di kawasan Kota Tua Semarang yang hampir 80% sudah direvitalisasi", kata Hevearita.
"Memang ada yang belum (direvitalisasi), karena ada yang kepemilikannya belum jelas," katanya.
"Masalah lainnya, bangunan cagar budaya masih menjadi sengketa," tambahnya. Saat ini, dia mengklaim pemkot Semarang tengah menelusuri satu per satu tentang status hukum aset tersebut.
Baca juga: Kesan Warga Semarang Saat Merasakan Hari Tanpa Bayangan
Selama tahap pertama revitalisasi, pemkot Semarang menitikberatkan kepada upaya pemugaran gedung-gedung cagar budaya di kawasan itu, dengan melibatkan pemiliknya dan investor baru.
Harapannya, gedung-gedung itu dapat "disulap" menjadi bernilai ekonomi, seperti dijadikan kafe, restoran, atau galeri seni serta ruang pameran dan kegiatan budaya.
"Kota lama kita revitalisasi harus dengan rohnya juga. Rohnya apa? Ya, aktivitas ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat yang ada di dalamnya," kata Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.
Baca juga: Di Semarang, Anak Berkebutuhan Khusus Dapat Hidup Lebih Nyaman
Bagaimanapun, memasuki tahap kedua revitalisasi, Pemkota Semarang berjanji akan membereskan masalah lokasi parkir bagi pengunjung kawasan itu.
"Ada yang mengeluh tidak dapat parkir, kalau toh dapat tarifnya cukup memberatkan," kata Hendi, September lalu. Dia menjanjikan menyiapkan sejumlah kantong parkir.
Baca juga: Setiap Rabu Warga Kota Semarang Bisa Nikmati Pagelaran Kesenian
Pihaknya juga akan melakukan ekskavasi reruntuhan atau fondasi benteng kuno yang didirikan pada 1760 dan kini kondisinya terpendam.
"Salah-satu ujungnya akan dijadikan museum, yaitu di daerah Bubakan," katanya.
Pemkot juga berencana mengintegrasikan Kota Lama dengan beberapa kampung budaya di sekitarnya, seperti kawasan Pecinan, Kampung Arab dan Kampung Melayu.
Baca juga: Terdampak Pembangunan Tol Semarang-Batang, Nasib Gedung SMP N 16 Semarang Terkatung-katung
"Apakah prosesnya sudah sesuai dengan azas pelestarian? Menurut saya, banyak catatan dalam proses itu,'' kata Rukardi dilansir dari BBC Indonesia.
Menurutnya, ada beberapa bangunan yang sudah direnovasi, namun kemudian bentuknya berubah dan berbeda dari aslinya.
"Konservasi (bangunan cagar budaya) itu 'kan mengembalikan sesuai dengan aslinya, tapi yang terjadi, justru lebih banyak polesannya," ujar Rukadi.
Baca juga: Setelah Westlife, Kota Semarang Siap Gelar Konser MLTR
Secara umum, meminjam istilah kalangan pegiat sejarah di Semarang, Rukadi menyebut proses revitalisasi Kota Tua Semarang sebagai "beautifikasi".
Dia kemudian memberikan contoh sejumlah ornamen seperti pembatas jalan, lampu-lampu dan gardu telepon, yang disebutnya "salah konteks".
"Misalnya gardu telepon (warna merah) yang sangat British, meskipun itu ada fungsinya untuk charger, yang sangat aneh di situ," katanya.
"Chargernya bisa dipakai, lah gardu telepon buat apa? Pajangan saja? Ini tidak tepat," cetus Rukardi.
Baca juga: Wali Kota Hendi Ajak Masyarakat Semarang Teladani KRMT Wongsonegoro
"Seperti telepon boks merah atau pancuran air yang kita temukan di Inggris," katanya. "Untuk apa kita masukkan ke situ?"
Kehadiran aksesoris seperti itu, lanjutnya, mengalahkan keberadaan bangunan cagar budaya yang relatif baik.
Dia kemudian mencontohkan kehadiran lampu-lampu di trotoar yang dianggapnya terlalu banyak. Dia menganggap semestinya sebagian lampu dapat digunakan untuk menyorot bangunan cagar budaya.
Baca juga: Pengakuan Pekerja Lokalisasi Sunan Kuning Sebelum Penutupan
"Pantulan gedung itu akan menerangi jalan, itu akan indah sekali bangunannya," katanya. "Bangunannya kelihatan menonjol, jalan juga terang."